MAKI Akan Uji UU Soal Mangkirnya Firli dari Panggilan Komnas HAM

| 10 Jun 2021 10:48
MAKI Akan Uji UU Soal Mangkirnya Firli dari Panggilan Komnas HAM
Ketua KPK Firli Bahuri (Twitter KPK)

ERA.id - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) akan menguji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM atas mangkirnya Firli Bahuri, Ketua KPK dari panggilan Komnas HAM dalam kasus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.

"Alasan mangkir Firli Bahuri, Ketua KPK, dituangkan dalam surat yang dikirim KPK kepada Komnas HAM berupa permintaan penjelasan jenis pelanggaran HAM dari TWK," kata Koordinator MAKI Bonyamin Saiman, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (10/6/2021).

Alasan tersebut, lanjut Bonyamin, telah membuat polemik pro dan kontra, sehingga MAKI akan berinisiatif mengajukan uji materi undang-undang HAM dengan maksud menguji efektifitas Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan wewenangnya termasuk kewenangan memanggil seseorang untuk diklarifikasi atau didengar keterangannya terkait aduan dugaan pelanggaran HAM.

"Uji materi ini akan diajukan minggu depan kepada Mahkamah Konstitusi," kata Bonyamin.

Adapun, kata dia, bahan materi 'judicial review' pasal-pasal yang diatur UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM terhadap UUD 1945 sebagai berikut.

Pasal 89 Ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM berbunyi "Komnas HAM berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "berlaku terhadap semua WNI, instansi pemerintah dan badan hukum swasta kecuali terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan atau Pimpinan KPK lainnya".

Selanjutnya, Pasal 94 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM "Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "berlaku terhadap semua WNI, instansi pemerintah dan badan hukum swasta kecuali terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan atau Pimpinan KPK lainnya".

Yang ketiga, Pasal 95 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, "Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "berlaku terhadap semua WNI, instansi pemerintah dan badan hukum swasta kecuali terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan atau Pimpinan KPK lainnya".

Bonyamin mengatakan pihaknya memahami panggilan Komnas HAM berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia secara pribadi atau dari instansi pemerintah atau lembaga swasta tanpa kecuali, sehingga penolakan Firli Bahuri Ketua KPK atas panggilan Komnas HAM adalah bentuk imunitas atau kekebalan istimewa sehingga perlu diatur khusus dalam Undang Undang HAM.

"Sekali lagi ini untuk memberikan hak istimewa kepada Firli Bahuri dari panggilan Komnas HAM," kata Bonyamin.

Lebih lanjut Bonyamin menyampaikan, uji materi ini dimaksudkan memberikan landasan dasar yang kuat kepada Firli Bahuri Ketua KPK dalam menolak panggilan Komnas HAM terkait TWK dengan alasan independensi KPK sehingga tidak bisa dipanggil Komnas HAM.

Jika uji materi ini dikabulkan, maka memberikan hak dan landasan yang kuat kepada Firli Bahuri Ketua KPK untuk menolak panggilan Komnas HAM .

Jika uji materi ditolak, kata dia, maka semua orang termasuk Ketua KPK harus datang jika dipanggil Komnas HAM, karena tidak ada manusia istimewa yang kebal dari proses di Komnas HAM.

Bonyamin menambahkahkan, uji materi ini diajukan secara serius, bukan bermaksud menyindir siapapun, bukan bermaksud memberikan hak istimewa kepada Firli Bahuri Ketua KPK.

Namun jika uji materi ini dikabulkan, maka menunjukkan Firli Bahuri Ketua KPK adalah orang istimewa sehingga perlu diberi kekebalan dari panggilan Komnas HAM.

"Namun jika ditolak, menunjukkan Firli Bahuri adalah WNI yang kedudukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana amanat pasal 27 UUD 1945," kata Bonyamin.

Rekomendasi