ERA.id - Akun Twitter Jokowi diserbu warganet usai dinilai keliru menulis ada muazin dalam salat sunnah Iduladha.
"Salat Iduladha pagi ini di halaman Istana Bogor dengan jamaah terbatas. Bertindak sebagai muazin, imam, dan khatib adalah anggota Paspampres.
Kata sang khatib, “semua cobaan dapat kita lalui dengan baik bila dihadapi dengan sabar."
Banyak yang menganggap muazin barulah dipakai saat salat wajib. Gunanya adalah melantunkan azan dan ikamah sebelum salat berjemaah dilakukan.
Sementara kalau melaksanakan salat Id, tak ada muazin. Hal itu juga dikomentari pegiat media sosial dan politisi partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya.
Ia bertanya, aliran agama apa yang menggunakan muazin saat salat Idul Adha.
“Idul Adha kok ada Muadzin. Aliran apa ya Pak?” katanya melalui akun Twitter TofaTofa_id pada Selasa, 20 Juli 2021, kemarin.
Walau begitu, ada pula yang berupaya memahami bahwa yang dimaksudkan muazin dalam unggahan Jokowi adalah bilal.
“Jangan lebay bang, yang dimaksud muadzin itu mungkin bilal. Muadzin itu kan artinya memanggil atau mengingatkan, bilal kan sama juga agar ketika khutbah jamaah agar tidak berbicara,” kata Frachman99.
Untuk menentukan itu keliru atau tidak, mari kita pakai kamus besar bahasa Indonesia sebagai tolak ukur untuk mengartikan muazin secara harfiah.
Dalam laman KBBI Kemdikbud, kata muazin adalah orang yang menyerukan azan; juru azan; bilal. Tak cuma itu, muazin juga diartikan sebagai lebai di kampung; modin.
Sementara dalam lama Wikipedia, muazin diartikan orang atau beberapa orang terpilih di masjid yang ditugaskan untuk mengumandangkan panggilan ibadah.
Seorang muazin juga sering disebut sebagai "Bilal", nama tersebut diambil dari nama Muazzin pertama dalam sejarah Islam, Bilal bin Rabah.
Sementara Nahdlatul Ulama atau NU dalam laman resminya, pada 2020 silam, juga menyebut bilal atau muazin pada salat Iduladha tidak dianjurkan untuk mengumandangkan lafal azan dan lafal iqamah.
Itu artinya, bilal atau muazin hanya berbeda kata saja, namun dimaknai sama. Mereka dianjurkan untuk menyeru dengan lantang “as-shalāta(u) jāmi‘ah.”
Artinya, “(Marilah) shalat Idul Adha berjamaah.” Bilal atau muazin dapat menambahkan beberapa kata pada lafal seruan “as-shalāta(u) jāmi‘ah.” Lafal seruan setelah penambahan ini dapat berbeda-beda di masing-masing masjid, mushalla, atau tanah terbuka.
Nah, sampai di sini, kesimpulan sudah terjawab. Tentunya kita memakai alat ukur yang kuat, yakni kamus dan pemahaman dari organisasi Islam sebesar NU sendiri. Jika sudah begitu, apakah Anda masih menilai Jokowi keliru?