Draf Awal RUU PKS Disebut Hilangkan Hak Korban, Ketua Panja: Ini Satu-satunya UU yang Miliki Perspektif Korban

| 06 Sep 2021 13:45
Draf Awal RUU PKS Disebut Hilangkan Hak Korban, Ketua Panja: Ini Satu-satunya UU yang Miliki Perspektif Korban
Willy Aditya (Dok. Instagram willyaditya)

ERA.id - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) Willy Aditya menegaskan, tidak benar apabila ada anggapan draf awal RUU PKS menghilangkan hak korban kekerasan seksual.

Hal tersebut merespons adanya sejumlah kritikan setelah Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menyusun draf awal RUU PKS yang dipaparkan dalam rapat pleno pada Senin (30/9) lalu.

"Enggak (hak korban tidak dihilangkan), justru itu keliru. Hak korban sama sekali (tidak dihilangkan), ini satu-satunya undang-undang yang memiliki perspektif korban," ujar Willy saat dihubungi ERA.id, Senin (6/9/2021).

Meski begitu, Willly mengaku akan menerima seluruh masukan dan kritik dari berbagai pihak terkait isi draf awal RUU PKS. Menurutnya, sepanjang pembahasan pun dia sudah dua kali menerima perwakilan dari masyarakat yaitu Jurnal Perempuan dan Komnas Perempuan.

Dalam pertemuan itu, kata Willy, pihaknya mendengar dan mencatat masukan-masukan dari masing-masing organisasi dan lembaga untuk dipertimbangkan ke dalam draf RUU PKS.

"Selaku Ketua Panja, aku terbuka terhadap semua masukan. Sudah dua kali aku ketemu, pertama dengan Jurnal Perempuan lalu Komnas Perempuan, ku terima kami ngobrol," kata Willy.

Wakil Ketua Baleg DPR RI itu mengatakan, dalam pembahasan dan penyusunan RUU PKS, pihaknya tetap megedepankan dialog dengan seluruh pihak, baik dari pemerintah maupun perwakilan dari masyarakat.

"Kami mengedepankan dialog. Kan masing-masing punya perspektif sendiri-sendiri, jadi kita bangun kesepahaman," kata Willy.

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritik isi draf awal RUU PKS yang dinilai meghilangkan sejumlah ketentuan. Salah satunya mengenai hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban seksual.

Selain itu, dalam draf awal RUU PKS tidak mengatur hak-hak korban, keluarga korban, saksi, dan ahli sehingga membuat posisi mereka rentan selama menjalani proses penegakan hukum.

Kemudian tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban.

"Ini adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab," bunyi keterangan tertulis LBH Jakarta yang dikutip pada Sabtu (4/9/2021).

Sementara dari draf awal RUU PKS yang diterima ERA.id disebutkan sejumlah ketentuan mengenai hak korban hingga lembaga yang bertugas untuk melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan seksual.

Hal itu tercantum dalam Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi: "Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebaih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multi dimensi, bekelanjutan dan partisipatif."

Kemudian di Pasal 1 ayat 13 dijelaskan yang dimaksud dengan penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan, pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial.

Di ayat 14 dijelakan mengenai maksud perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban, saksi, dan keluarga korban. Selanjutnya di ayat 15 dijelaskan mengenai pemulihan yaitu segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Rekomendasi