ERA.id - Ketua Komisi Pemberantaran Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengklarifikasi pernyataannya yang menyinggung soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden bukan untuk mencampuri ranah politik.
Diketahui, Firli sempat mendukung agar presidential threshold menjadi 0 persen.
Firli menegaskan, pernyataannya itu hanya sekadar untuk mengentaskan Indonesia dari tindak pidana korupsi.
"Pendapat saya terkait presidential threshold 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itu konsentrasi KPK," kata Firli dalam keterangan tertulis, Rabu (15/12/2021).
"Bukan berarti saya memasuki ranah politik. Sekali lagi, saya tegaskan baha saya tidak masuk ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif," tegasnya.
Firli mengaku, KPK menaruh perhatian terhadap presidential threshold lantaran banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara hingga kepala daerah. Berdasarkan temuan KPK, perilaku korupsi ini untuk alasan balik modal.
Saat Pemilu berlangsung, banyak calon kepala daerah maupun calon legislatif yang mengeluarkan biaya tak sedikit untuk kampanye.
Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi balik modal.
Menurut Firli, data KPK menemukan banyak bentuk balas budi pada donator pilkada. Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan.
"Prinsip balik modal dan balas budi pada donator membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi yang korup, karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara," kata Filri.
Biaya politik yang mahal tidak hanya soal kampanye, tapi juga politik transaksional atau disebut mahar politik. Firli mengatakan, buntut dari politik transaksional akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar.
Oleh karena itu, dia menilai dengan menurunkan atau mengubah presidential threshold menjadi 0 persen dapat menjadi jalan keluar untuk mencegah tindakan koruptif para pejabat negara maupun daerah.
"Pada konteks ini, maka saya berpendapat bahwa jika presidential threshold 0 persen bisa membuat mahar polirik partai politik hilang dan biaya kampanye murah. Sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik, ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur. Jadi kenapa tidak presidential threshold ini 0 persen," papar Filri.
Dia menambahkan, jika memang biaya politik mendorong hasat korupsi yang begitu besar bagi pejabat, maka harus segera ditangani akar persoalannya. Salah satunya yaitu presidential threshold.
"Jika memang PT telah mendorong politik transaksional dalam bentuk mahar-mahar politik dan biaya politik mahal menciptakan donokrasi maka, pemberantasan korupsi harus diupayakan dengan perbaikan kultur dan sistem pemilihannya," tegas Firli.
Sebelumnya, saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Jumat (10/12), Firli sempat menyinggung soal presidential threshold.
"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, president threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu pak kalau kita ingin mengentaskan korupsi," kata Firli.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, presidential threshold yang berlaku saat ini sebesar 20 persen.