Bacakan Pleidoi, Kubu Angin Prayitno Sebut Penuntut Umum Tak Bisa Buktikan Aliran Dana Suap Pajak

| 19 Jan 2022 07:32
Bacakan Pleidoi, Kubu Angin Prayitno Sebut Penuntut Umum Tak Bisa Buktikan Aliran Dana Suap Pajak
Angin Prayitno (Dok. Antara)

ERA.id - Terdakwa mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji menilai jika jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa membuktikan dakwaan dan tuntutannya, dalam perkara dugaan suap pengurusan nilai pajak terhadap sejumlah perusahan.

Argumen itu disampaikan Angin, melalui Kuasa Hukumnya Syaefullah Hamid dalam agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan terhadap tuntutan sembilan tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (18/1).

"Bahwa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan Dakwaan dan Tuntutannya terkait penerimaan uang  dari PT. GMP, PT. Bank Pan Indonesia dan PT. Jhonlin Baratama," sebut Syaefullah dalam pleidoinya.

Menurutnya, perihal dugaan penuntut umum atas penerimaan uang dari PT. GMP, melalui Yulmanizar yang menukar uang dari PT. GMP sebesar Rp. 13,8 miliar dari mata uang rupiah menjadi  dolar Singapura sekitar bulan Januari atau Februari 2018.

Hal itu diklaim Syaefullah tidaklah terbukti, karena berdasarkan catatan elektronik Money changer Dolarasia bahwa Yulmanizar tidak pernah menukar mata uang rupiah sebesar RP. 13,8 miliar tersebut.

"Fakta ini dikuatkan dengan keterangan saksi Rianhur Sinurat yang mengatakan bahwa Yulmanizar yang menggunakan nama Deden Suhendar tidak pernah menukar uang sebesar 10 miliar ke atas dalam satu waktu," ujarnya.

Terlebih, Syaefullah juga menilai ada yang janggal apabila penuntut umum mengaitkan perihal kedatangan Veronika Lindawati selaku kuasa wajib pajak sekaligus orang kepercayaan Bos Bank Panin, Mu'min Ali Gunawan pada tanggal 24 Juli 2018 di DJP, untuk negosiasi pajak.

Padahal, lanjut dia, nilai pajak telah ditetapkan sehari sebelumnya, yaitu tanggal 23 Juli 2018. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana mungkin Veronika datang untuk menegosiasikan nilai pajak yang telah ditetapkan dan diterbitkan sebelum kedatangannya tersebut.

"Sangat janggal jika penetapan SPHP tanggal 23 Juli 2018 adalah tindak lanjut dari kedatangan Veronika pada tanggal 24 Juli 2018," sebutnya.

Sementara itu, Syaefullah juga menyangkal berkaitan anggapan penuntut umum soal penerimaan uang dari PT. Bank Pan Indonesia yang juga tidak terbukti. Disebutkan jika Angin menerima uang 5 miliar yang diberikan dalam pertemuan tanggal 15 Oktober 2018 yang dihadiri oleh Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak.

Hal itu berdasarkan keterangan dari Yulmanizar, penuntut umum beranggapan Veronika Lindawati telah menyerahkan uang 5 miliar kepada Wawan Ridwan yang kemudian diteruskan kepada Angin.

"Namun, melalui bukti Form Penerimaan Tamu tanggal 15 Oktober 2018 yang ditandatangani oleh Yulmanizar dalam kolom Pegawai yang Ditemui. Hal ini membuktikan bahwa Yulmanizar yang menghadiri pertemuan tersebut," ujarnya

"Fakta hukum ini diperkuat dengan keterangan Veronika Lindawati bahwa Yulmanizar dan febrianlah yang menghadiri pertemuan tersebut, sedangkan Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak tidak mengikuti pertemuan tersebut," lanjutnya.

Sehingga, Syaefullah mengklaim dua fakta sanggahan itu telah membuktikan bahwa Wawan tidak menghadiri pertemuan  tersebut. Alhasil tidak mungkin apabila Wawan Ridwan meneruskan uang tersebut kepada Angin.

Tuduhan lain yang dapat dibantah Syaefullah soal penerimaan dari PT. Jhonlin Baratama (JB), karena pada saat pemeriksaan PT. JB, Angin tidak menjabat lagi sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

"Sehingga mustahil Angin mencampuri pemeriksaan PT. JB. Selain itu, Yulmanizar juga mencabut keterangan terkait dengan keterlibatan Angin dalam pemeriksaan PT.  JB dan penerimaan uang dari PT. JB," ujarnya.

Disisi lain, dia juga mengatakan dalam persidangan, Angin tidak pernah ketemu dengan tim pemeriksa untuk mencampuri pemeriksaan pajak. bahkan angin tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan tim pemeriksa.

"Angin juga tidak pernah memerintahkan penerimaan uang dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung. Seluruh fakta hukum ini terungkap di persidangan berdasarkan keterangan para saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum," tuturnya.

Dituntut 9 Tahun Penjara

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menuntut mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Angin Prayitno Aji bersama terdakwa lainnya, Dadan Ramdhani, dengan hukuman penjara berbeda terkait kasus suap Rp57 miliar.

Angin selaku mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, dijatuhkan pidana sembilan tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Dadan, selaku mantan Kepala Subdirektorat Pemeriksaan Ditjen Pajak, dituntut pidana enam tahun penjara dan denda Rp350 juta subsider lima bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa I Angin Prayitno Aji dan terdakwa II Dadan Ramdani telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama," kata Jaksa Wawan Yunarwanto saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (11/1).

Jaksa juga menuntut kedua mantan pejabat Ditjen Pajak itu membayar uang pengganti Rp 3.375.000.000 dan SGD 1.095.000, dengan perhitungan nilai tukar rupiah pada tahun 2019.

"Pidana tambahan berupa uang pengganti ini dibayarkan selambat-lambatnya setelah satu bulan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, harta benda disita dan dilelang oleh Jaksa. Jika tidak mencukupi, diganti dengan pidana tiga tahun penjara," tegas Wawan.

Sejumlah pertimbangan meringankan dan memberatkan turut dibacakan jaksa. Hal memberatkan, perbuatan para terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Terdakwa juga dinilai berpengaruh negatif dalam upaya optimalisasi penerimaan negara pada bidang pajak.

"Hal memberatkan, terdakwa juga telah menikmati hasil perbuatannya dan para terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya," jelas Wawan.

Kendati demikian, hal meringankan para terdakwa berlaku sopan di depan persidangan dan belum pernah dihukum.

Dalam perkara ini, keduanya diyakini telah menerima suap senilai Rp57 miliar diterima keduanya dalam dua pecahan mata uang, terbagi atas Rp 15 miliar dan SGD 4 juta. Uang itu diterima dari para wajib pajak yang turut berperkara dalam kasus ini. Mereka adalah PT. Bank Pan Indonesia (Panin), PT. Jhonlin Baratama (JB) dan PT. Gunung Madu Plantations (GMP).

Rekomendasi