Gerindra: Suara Azan yang Indah Jadi Semacam Budaya di Indonesia

| 24 Feb 2022 22:14
Gerindra: Suara Azan yang Indah Jadi Semacam Budaya di Indonesia
Sufmi Dasco (Dok. Instagram sufmi_dasco)

ERA.id - Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menanggapi soal suara azan dianggap sebagai gangguan. Ia menganggap pendapat tersebut berlebihan.

"Karena, suara azan yang begitu indah dan bermakna menjadi semacam budaya di Indonesia, dikumandangkan dari masjid dan mushola sebanyak 5 kali sehari dengan durasi 1 hingga 1,3 menit tentunya tidak bisa disamakan dengan suara apa saja, apa lagi dianggap sebagai suara yang menganggu," kata Dasco dalam keterangannya, Kamis (24/2/2022).

Ia menambahkan suara azan yang mengingatkan dan memanggil umat muslim untuk salat dapat dikategorikan sebagai kearifan dan cagar budaya dalam hidup bertoleransi antar umat beragama di Indonesia.

"Untuk itu, di tengah keberagaman yang kita miliki, saya mengajak kepada semua pihak untuk memaknai toleransi dengan baik. Mari kita pertebal semangat persatuan, saling menghormati dan saling menghargai sesama anak bangsa dan juga antar umat beragama," kata Dasco.

Sebelumnya, Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

Dalam surat ini mengatur penggunaan waktu dan kekuatan dari pengeras suara di masjid dan musala.

"Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silahkan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel," ujarnya, kepada awak media.

Selain itu, Yaqut juga mengatakan perlu peraturan untuk mengatur waktu alat pengeras suara tersebut dapat digunakan, baik setelah atau sebelum azan dikumandangkan.

"Bagaimana menggunakan speaker di dalam atau luar masjid juga diatur. Tidak ada pelarangan. Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis," katanya.

Baginya pedoman ini bertujuan juga untuk meningkatkan manfaat dan mengurangi hal yang tidak bermanfaat, sebab di daerah di Indonesia yang mayoritas Muslim, hampir di setiap 100-200 meter terdapat masjid atau musala.

"Kita bayangkan, saya Muslim saya hidup di lingkungan nonmuslim, kemudian rumah ibadah mereka membunyikan toa sehari lima kali dengan keras secara bersamaan, itu rasanya bagaimana?" ucapnya.

"Contohnya lagi, misalkan tetangga kita kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya menggonggong di waktu yang bersamaan, kita terganggu tidak? Artinya semua suara-suara harus kita atur agar tidak menjadi gangguan," ujarnya.

Yaqut menegaskan alat pengeras suara di masjid/musala dapat dipakai, namun diatur agar tidak ada yang merasa terganggu.

Dan agar niat menggunakan pengeras suara sebagai sarana untuk syiar dan tepat dilaksanakan, tanpa harus mengganggu umat beragama lain.

"Kita harus menghargai mereka yang berbeda dengan kita. Dukungan atas ini juga banyak," katanya.

Tags :
Rekomendasi