Cerita Paskah dari Mereka yang Merasakan Kehadiran Tuhan di Rumah

| 12 Apr 2020 16:04
Cerita Paskah dari Mereka yang Merasakan Kehadiran Tuhan di Rumah
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko melangkahkan kaki seorang diri di lorong menuju altar Gereja Katedral, Semarang, Jawa Tengah, sesaat sebelum memulai perayaan Jumat Agung (10/4). Sesekali pandangannya dilepas pada bangku-bangku kosong yang biasanya dipadati umat Kristiani selama ibadah Pekan Suci, yang kini tampak melompong.

Pemandangan yang hampir sama juga terjadi di Gereja Santo Peter Basilica, Vatikan, saat perayaan Malam Paskah, Sabtu (11/4). Ibadah yang dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bangku-bangku gereja yang biasanya dipadati jemaat dari penjuru dunia tampang lengang. Hanya ada beberapa orang yang jumlahnya tak sampai 20 dan duduk dengan jarak berjauhan.

Sepi dan hening, itu adalah suasana yang tergambar dari perayaan Paskah bagi umat Nasrani tahun ini. Bukan tanpa sebab, pandemik global virus korona atau COVID-19 menyebabkan induk gereja Kristen dan Katolik menganjurkan umatnya untuk beribadah secara online, termasuk pada peringatan Paskah yang jatuh di pekan kedua April ini.

Rasa sepi juga rupanya menghinggapi umat Kristiani, saat mengikuti prosesi kebaktian dan ekaristi melalui sambungan internet, terutama mereka yang merantau dan merayakannya dari dalam kamar kosan saja. Paulina (26) misalnya, mengaku sedih harus merayakan Paskah seorang diri, meskipun bukan anak muda yang rajin ke gereja, dia tak pernah membayangkan harus mengikuti ibadah secara virtual.

“Misa virtual itu pertama kali selama gue hidup, bahkan waktu kemarin misa Jumat Agung, air mata gue sempat netes karena enggak nyangka kalau tahun ini bakal beda banget,” ujar Paulina, Sabtu (11/4).

Paulina mengaku mengikuti rangkaian ibadah Paskah seorang diri dari dalam kamar kosnya. Dia mengatakan, selama tiga tahun merantau memang dia tak pernah pulang ke rumah orang tuanya untuk merayakan Paskah, tapi setidaknya dia bersama orang lain di dalam gereja, jadi tidak terasa sendiri.

Meski demikian, dia mengaku jauh lebih khusyuk beribadah secara daring ketimbang berada langsung di gereja. Paulina juga sempat mengikuti siaran ibadah dari Keuskupan Agung Padang pada perayaan Kamis Putih. Menurutnya, ini salah satu keuntungan dari ibadah online.

“Lumayan berasa jalan-jalan sejak work from home dan lebih khusyuk, tapi di sisi lain gue merasa kesepian,” ucapnya.

Perasaan yang hampir sama juga dirasakan oleh Dina (28). Ini merupakan tahun pertamanya merayakan Paskah sendirian dan berjauhan dengan keluarga. 

“Aku sensitif kalau soal keluarga, biasanya dari Kamis Putih sudah di rumah, kumpul sama keluarga. Tahun ini kepikiran bapak ibu berduaan aja. Kan anak-anaknya pada merantau,” tutur Dina.

Meski harus merasakan kesepian, Dina mengaku jauh lebih merasa lebih dekat dengan Tuhan dengan tata cara ibadah secara daring ini. Dia merasa Yesus benar-benar datang ke tiap-tiap rumah umatnya, sehingga dia pun mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiran-Nya.

Sementara Odie (26) mengaku tahun ini dirinya tak hanya sekadar merayakan Paskah, tapi juga secara spiritual merasakan Paskah. Meskipun hanya mengikuti ibadah dari dalam kamar saja, namun dia mengaku sangat menyiapkan diri mengikuti ibadah layaknya saat dia hendak pergi ke gereja.

“Paskah tahun ini lebih berasa dari segala aspek sih. Kayak kita tuh diajarin untuk meredam egois kita masing-masing dan diberi kesempatan untuk introspeksi diri sendiri. Bayangin aja, enggak peduli kamu sekaya apa, kamu sendirian,” kata Odie.

Walaupun merasa lebih menikmati ibadah online, Odie mengaku rindu hadir secara fisik ke dalam gereja dan mengikuti prosesi misa seperti biasa. Dia mengatakan, hal-hal yang tidak bisa digantikan misalnya menerima komuni atau mencium wangi dupa dari wiruk yang dibawa misdinar.

“Ya paling kangen itu nyambut komuni sih. Sedih tahun ini enggak bisa, padahal puncak ekaristi itu ya di komuni, kalau menurut aku,” ucapnya.

Keheningan dan kesepian perayaan Paskah tahun ini juga dirasakan oleh Marlin (28). Dia mengatakan ibadah online sama sekali tidak cocok dengan anak kosan seperti dirinya, karena benar-benar merasa sendiri tanpa ada orang lain untuk berbagi. Meski begitu, berkat adanya Covid-19, dia merasa menjadi lebih memaknai perayaan Paskah yang biasanya hanya sekadar selebrasi yang kehilangan makna.

“Pandemi ini juga bikin gue merasa lebih memahami kisah kesengsaraan Tuhan Yesus. Bahwa pandemi ini tuh belum apa-apa dibandingin peristiwa yang dialami Yesus buat menebus dosa-dosa manusia,” kata Marlin.

Selain alasan spiritual, Marlin juga merasa sedang diingatkan bahwa manusia itu tidak sehebat penafsiran yang ada jika dibandingkan dengan alam semesta. Dia juga merasa lebih menghargai banyak hal dengan adanya pandemi ini seperti menghargai sebuah jabatan tangan atau pelukan, dan juga pertemuan.

“Gue juga jadi lebih menghargai banyak hal, contohnya pertemuan. Gue sih merasa Allah lagi ngingetin kita untuk lebih banyak berbuat baik dan peduli sama sesama manusia,” tuturnya.

Dalam perayaan malam Paskah, Pastor Paroki Gereja Katedral Jakarta Romo Albertus Hani Rudi Hartoko SJ membawakan puisi dari Gus Mus yang menurutnya bisa dijadikan perenungan bagi umat Nasrani di Hari Raya Paskah ini:

Vatikan Sepi/Yerusalem Sepi/ Tembok Ratapan dipagari/ Paskah Tak Pasti/ Seolah-olah membawa pesan bahwa ritual itu rapuh/ Bahwa hura-hura atas nama Tuhan itu semu/ Bahwa simbol dan upacara itu banyak yang hanya menjadi topeng dan komoditi dagangan saja// Ketika Corona datang/ Engkau dipaksa mencari Tuhan/ Bukan di Basilika Santo Petrus/ Bukan di dalam Gereja/ Bukan di Mimbar Khotbah/ / Bukan dalam Misa Minggu/ Melainkan pada kesendirianmu, pada mulutmu yang terkunci/ Pada hakekat yang senyap, pada keheninganmu yang bermakna//

Tags : covid-19 paskah
Rekomendasi