ERA.id - Sejarah aksara Jawa tak terlepas dari bangsa India. Saat ini, masyarakat mengenal aksara ha, na, ca, ra, ka, dst. ( ) sebagai aksara jawa yang digunakan dalam bahasa Jawa. Jika melihat bentuknya, aksara tersebut agak mirip dengan aksara di Thailand dan India, kan?
Aksara Jawa merupakan salah satu turunan aksara Brahmi dari India. Jejak sejarahnya bisa ditelusuri melalui berbagai peninggalan tertulis yang diteliti oleh para ahli epigrafi. Untuk lebih jelas mengenai sejarah aksara Jawa, simak penjelasan berikut, dikutip Era dari merajutindonesia.id.
Menelusuri Jejak Sejarah Aksara Jawa
Aksara Brahmi berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Asia Tenggara sekitar abad ke-6 hingga ke-8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi. Ini merupakan aksara yang digunakan pada periode Hindu-Buddha di sebagian wilayah Nusantara, sekitar abad ke-8 hingga ke-15.
Aksara Jawa ditulis menggunakan beberapa media tulis yang berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa biasanya ditemukan dalam bentuk prasasti yang terbuat dari batu dan lempeng logam.
Tulisan Kawi sehari-hari ditulis menggunakan media lontar. Bentuk lembar lontar umumnya persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 cm hingga 4 cm dan panjang antara 20 cm hingga 80 cm.
Satu lembar lontar bisa memuat beberapa baris tulisan, sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal menggunakan pisau kecil, kemudian dihitamkan dengan jelaga agar lebih mudah dilihat atau dibaca. Penggunaan lontar sebagai media tulis punya sejarah penggunaan yang panjang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Pada abad ke-13, kertas masuk ke Nusantara. Hal tersebut tak terlepas dari penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dengan format buku kodeks.
Pada abad ke-15, Jawa mulai menerima pengaruh Islam secara signifikan. Masa tersebut bersamaan dengan mulainya transisi aksara Kawi menjadi aksara Jawa modern. Akhirnya, kertas menjadi media yang lebih umum digunakan di Pulau Jawa, sedangkan lontar hanya digunakan di beberapa tempat.
Tulisan sastra Jawa tradisional mayoritas dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang atau syair yang diberi lagu untuk dinyanyikan. Oleh sebab itu, teks sastra ketika itu tidak hanya dinilai berdasarkan isi dan susunannya, tetapi juga berdasarkan pelantunan dan pembawaan sang pembaca.
Tradisi tulis Jawa mengandalkan teknik penyalinan dan penyusunan ulang yang dilakukan secara berkala sebab media tulis rentan terhadap iklim tropis. Oleh sebab itu, sebagian besar naskah fisik yang masih ada saat ini merupakan salinan abad ke-18 atau ke-19. Namun, isinya biasanya bisa ditelusuri hingga purwarupa yang ada pada zaman beberapa abad lebih tua.
Sastra dan Aksara Jawa
Antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari dan sastra yang cakupannya luas serta beragam.
Tradisi lisan punya pengaruh yang kuat dalam kesastraan Jawa sehingga teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang untuk dilantukan. Teks Jawa pun tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga berdasarkan nada dan irama saat dilantunkan.
Umumnya, pujangga sastra Jawa tidak dituntut menciptakan kisah dan karakter baru. Peran seorang pujangga adalah menulis serta menyusun ulang cerita-cerita yang sudah ada ke dalam gubahan sesuai selera lokal dan perkembangan zaman.
Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukan termasuk sebuah teks edisi otoriter yang jadi rujukan teks lain, tetapi kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.
Wiracarita atau epos Sanskerta menjadi genre sastra dengan akar paling kuno, misalnya kisah Ramayana dan Mahabharata. Keduanya merupakan kisah yang disadur sejak periode Hindu-Buddha.
Kajian mendalam terhadap bahasa dan sastra Jawa kemudian mulai menarik perhatian kalangan Eropa (abad ke-19). Bangsa Eropa kemudian memiliki keinginan menghadirkan aksara Jawa cetak demi memudahkan proses memperbanyak dan menyebarkan materi sastra Jawa.
Paul van Vlissingen menjadi orang pertama yang terlibat dalam upaya paling awal menghasilkan aksara Jawa cetak. Karyanya pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi Oktober 1825. Namun, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai punya gubahan bentuk yang canggung. Oleh sebab itu, berbagai upaya penyempurnaan perlu dilakukan.
Pada 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa. Gubahan yang ia lakukan berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi yang ada di Eropa.
Rancangan ini disambut baik, bahkan segera menjadi pilihan utama dalam pencetakan berbagai tulisan dengan aksara Jawa. Setelah itu, tulisan beraksara Jawa dengan fon Jawa gubahan Roorda beredar luas di masyarakat dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra.
Itulah sepenggal sejarah aksara Jawa. Saat ini aksara Jawa masih menjadi bagian dari bahan ajar muatan lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.