Bukan Cuma Garut, Profesi Tukang Cukur Juga Akrab dengan Orang Madura

| 25 Sep 2020 11:01
Bukan Cuma Garut, Profesi Tukang Cukur Juga Akrab dengan Orang Madura
Tukang cukur/ KITLV

ERA.id - Jauh sebelum barbershop modern menjamur, tukang cukur keliling atau yang biasa mangkal di DPR, yang merupakan akronim dari "di bawah pohon rindang" telah lebih dulu eksis. Lambat laun profesi ini seperti menjadi warisan dari generasi ke generasi yang biasanya mewakili sebuah daerah.

Sebut saja pangkas rambut asli Garut (Asgar) yang hampir berinvasi ke seluruh wilayah di Indonesia. Dalam perjalanannya, profesi tukang cukur ternyata tidak hanya identik oleh orang-orang asal Garut, Jawa Barat. Seperti Madura misalnya. Daerah penghasil garam terbesar di republik ini juga dikenal dengan profesi warganya sebagai tukang cukur, selain penjual sate tentunya.

Omong-omong, sejak kapan sih orang Madura dikenal jadi tukang cukur? Ternyata sudah sangat lama. Tidak ada tanggal pasti kapan orang Madura memilih untuk jadi tukang cukur. Namun, jejaknya ada. Bersama orang Tionghoa, pada masa penjajahan, orang Madura sudah dikenal banyak berprofesi sebagai tukang cukur keliling.

Jika tak percaya, cek dokumentasi foto-foto zaman kolonial Belanda. Misalnya dokumentasi foto Indonesia tempo dulu milik KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) yang bermarkas di Leiden, Belanda.

Tukang cukur keliling/Museum foto Belanda

Di sana banyak tersimpan foto para tukang cukur rambut jalanan di beberapa kota besar Indonesia mulai periode 1911 hingga 1930-an. Misalnya foto aktivitas orang Madura di Surabaya yang berprofesi sebagai tukang cukur pada 1911 dan tukang cukur rambut asal Tiongkok di Medan pada 1931.

Dalam jurnal Muh Syamsuddin berjudul Agama, Migrasi dan Orang Madura pada 2007 lalu. ia pernah menganalisis bahwa perjalanan migrasi orang-orang dari pulau garam itu terjadi sejak konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677. Konflik itu menyebabkan para pengikut Trunojoyo enggan kembali ke Madura. 

Maka orang yang migrasi itulah, lantas memilih mencari nafkah di sektor informal, seperti tukang soto, tukang sate, dan tukang cukur. Selain kuatnya tradisi migrasi itu merupakan bentuk jawaban terhadap kondisi ekologis pulau Madura yang gersang dan tandus.

Sementara dalam buku Haryoto Kunto berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), juga menulis orang Tionghoa, Madura dan Jepang, juga berbisnis pangkas rambut dulunya. Mereka disebut bermigrasi dan menyebar ke banyak negara, termasuk ke pelosok-pelosok wilayah Nusantara.

Berkah jadi tukang cukur

Dilansir dari kabarmadura.id, kita patutnya belajar dari kegigihan Mohammad Alfan. Pemuda asal Bilaporah, Bangkalan itu, sukses menjadi tukang cukur rambut di Papua. Keahliannya membawa berkah bagi keluarganya.

Selama mondok di pesantren, ia mengaku sering memotong rambut temannya dan diberi upah Rp2 ribu. Uang itu, sama sekali ia tidak belanjakan, melainkan ia masukkan dalam kotak amal.

Mohammad Alfan/Kabar Madura

Setelah lulus dari mondok pada tahun 2015, Alfan diajak kawannya merantau ke Papua. Di sana, ia menghadapi tantangan dan kesulitan yang pada akhirnya ia pakai untuk bekal belajar demi profesinya.

Lama-kelamaan dari tempaan kesulitan, ia diberi penghargaan oleh program televisi lokal. Setelah itu, rezekinya perlahan naik dari Rp50 ribu per hari yang ia kantongi, berubah menjadi Rp500 ribu. Dari uang itu, ia berangkatkan orang tuanya naik haji.

Rekomendasi