ERA.id - Budayawan Emha Ainun Nadjib mendesak presiden Indonesia membentuk tim untuk menyelidiki sangkut paut dari apa yang disebut sebagai 'Dana Revolusi' atau 'Harta Bung Karno' yang ia taksir berupa "jutaan batangan emas dan platinum (dan) deposito di bank-bank di dunia."
Tokoh publik yang kerap disapa Cak Nun ini, lewat posting blog pada Minggu, (7/2/2021), menduga bahwa ketidakjelasan harta berjumlah sangat banyak itu menandakan bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang miskin, tapi 'impoverished' (dimiskinkan).
Telusur Jejak Dana Revolusi
Posting berjudul 'Kepada Siapa Saja Presiden Indonesia' mengetengahkan beberapa pernik informasi terkait proses peralihan pemerintahan di masa kemerdekaan Republik Indonesia, 1945.
Cak Nun berpedoman pada 17 kata dalam alinea kedua teks Proklamasi 1945: "Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja." Dalam kalimat ini, ia menduga bahwa pemerintah RI saat itu tidak hanya dilimpahi kedaulatan, tapi juga harta benda yang begitu banyak.
Sayangnya, kata dia, bukti dan catatan proses pemindahan "kekuasaan d.l.l." itu hingga kini masih misterius.
Ia juga mengutip sebuah kesepakatan bernama 'Yunnan Agreement'. Dalam foto dokumen yang ia sertakan di posting blog itu, tertera nama 'Mr. Soekarno and Mr. Mao Tse Tung' dan bertuliskan bulan Agustus 1957. Dokumen ini ia duga merupakan bukti perjanjian hutang antara China kepada Indonesia.
Di tengah isu besarnya hutang Indonesia ke China, ia lantas mempertanyakan apakah hutang China kala itu sudah terlunaskan kepada Indonesia.
Pun, masih ada satu lagi dokumen yang menurut Cak Nun bisa menggambarkan seberapa besar kekayaan Indonesia yang tak jelas juntrungnya. Sebuah dokumen setebal 44 halaman berjudul 'White Spiritual Boy' ia sebut berisi informasi rekening bank di sejumlah bank besar di luar negeri.
Tak tanggung-tanggung, di salah satu rekening saja - yaitu di lingkup The Committee of 300 The World Bank Group USA yang berisi 884 rekening - terdapat kekayaan sejumlah US$ 600,000,000,000. Jika ditotal, masih mengutip catatan Cak Nun, total harta di lingkup itu mencapai US$ 598,800,000,000,000.
Cak Nun, seorang santri yang mengaku masih kikuk untuk masuk ke ruang ATM, seakan tak percaya Indonesia bisa punya kekayaan sebanyak itu. Namun, toh, ia mengaku tak sendirian.
"Sebagaimana dulu Presiden Soeharto pernah berupaya memverifikasi persoalan ini melalui penugasan kepada Menteri Azwar Anas, namun tidak tuntas dan tidak jelas hasilnya," tulis dia.
Harta Bung Karno, Mitos atau Fakta?
Isu perihal harta melimpah ruah dari era Kemerdekaan 1945, yang kemudian disebut 'Dana Revolusi', sempat menjadi pembicaraan publik lewat diterbitkannya buku Harta Amanah Soekarno (2014) yang ditulis oleh seorang bernama Safari ANS.
Buku ini membahas bahwa Proklamator Kemerdekaan RI menyimpan harta luar biasa banyak di Union Bank of Switzerland (UBS). Ini didasarkan sebuah anekdot mengenai The Green Hilton Memorial Agreement antara Presiden Soekarno dan Presiden AS John F Kennedy.
Namun, berdasarkan penjelasan Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kisah tersebut hanya isapan jempol alias hoaks.
"Itu hoax. Dulu saya pernah kritik buku Harta Amanah Soekarno yang mengemukakan hal itu," kata dia, melansir Detik.com, (30/1/2020).
Menurut Asvi, anekdot The Green Hilton Memorial Agreement sudah beredar di internet sejak 2009. Namun, situs bernama bibliotecapleyades sudah merilis isu ini sejak 28 November 2008.
Dalam cerita itu disebutkan bahwa AS mengakui mendapatkan 57 ribu ton emas dari Indonesia. Lebih-lebih, seperti disampaikan Safari dalam bukunya, harta karun yang tersimpan di UBS Swiss ini bisa dicairkan.
Namun, hal ini dipandang secara skeptis oleh Asvi Warman Adam.
Baginya, dokumen yang dijadikan bukti oleh Safari belum dikonfirmasikan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu ada detail seperti gambar cap peresmian dokumen dan tanggal penandatanganan kesepakatan yang patut dicurigai keabsahannya.
Dokumen tersebut konon ditandatangani pada 14 November 1963 di Swiss, tapi secara fisik hal ini sangat sulit terjadi. Ditinjau dari catatan situs John F Kennedy Presidential Library and Museum, Kennedy hari itu justru menggelar jumpa pers di Departemen Luar Negeri AS di Washington D.C, Amerika Serikat. Ia hari itu membahas sejumlah isu, namun, tak satupun yang menyinggung kesepakatan dengan Indonesia.
Artinya, bisa disimpulkan bahwa pada 14 November 1963, Kennedy tidak sedang berada di Swiss dan membicarakan suatu kesepakatan tentang Indonesia. Dengan begitu, dokumen The Green Hilton Memorial Agreement dan isu harta Soekarno di Swiss tak memiliki validitas, alias hoaks.