ERA.id - Masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa pasti tidak asing nama Masjid Agung Demak. Ya, masjid satu ini menjadi salah satu bangunan bersejarah sekaligus saksi bisu awal mula tersebarnya Islam di Pulau Jawa.
Masjid Agung Demak dibangun oleh Raden Patah yang merupakan pangeran Majapahit sekaligus pemimpin pertama Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid ini Berlokasi di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, letaknya berada tepat di alun-alun dan pusat keramaian Demak.
Masjid Agung Demak sendiri didirikan pada akhir abad ke-15 Masehi dengan gaya arsitektur Masjid yang mengandung unsur akulturasi budaya lokal Jawa, Hindu-Buddha, dan Islam dari Arab.
Hal ini terjadi karena Masjid Agung Demak berdiri ketika Islam mulai berkembang di Jawa seiring keruntuhan Majapahit yang pernah menjadi kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Jawa, bahkan di Nusantara.
Sejarah Masjid Agung Demak
Kerajaan Demak muncul pada akhir kejayaan Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Patah yang diangkat oleh Wali Songo. Di samping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Bukti peninggalan sejarah yang masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang yaitu Masjid Agung Demak.
Berita-berita tahun pembangunan masjid Agung Demak dapat dikaitkan dengan pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Demak tahun tahun 1462 dan pengangkatannya sebagai sultan Demak Bintara tahun 1478 M, yaitu pada waktu Majapahit jatuh di tangan Prabu Girindrawardhana dari Kediri, atau tahun 1512 M.
Khafid Kasri menyebutkan kalau Raden Patah menangguhkan penyerangan yang kedua dan melanjutkan mendirikan masjid Kadipaten Demak bersama para Wali Songo yang sudah dimulai pada tahun 1477 M/ 1399 S.
Raden Patah menyesali kekhilafannya karena terburu hawa nafsu mengadakan penyerangan kepada pasukan Girindrawadhana tanpa mengukur kekuatan pasukan musuh. Akibatnya banyak korban yang gugur di pihak pasukan Bintaro.
Para wali menyarankan Raden Patah untuk melanjutkan membangun masjid Agung Kadipaten yang belum selesai sambil menilai kekuatan musuh. Raden Patah menerima saran melanjutkan pembangunan masjid Kadipaten Demak dan menunda merebut tahta Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardana, tetapi dengan syarat mustaka masjid yang akan dibuat nanti, bentuknya runcing mirip angka satu arab (ahad).
Persyaratan itu sebagai lambang kejantanan bahwa Demak berani menghadapi pasukan Majapahit. Kadipaten Bintaro mulai melanjutkan membangun masjid Agung Kadipaten Bintaro yang telah dimulai tahun 1477 M dan selesai pada tahun 1479 M/ 1401 S, dengan ditandai sengkala mamet atau gambar berbentuk bulus.
Kerata Basa bulus yaitu “yen mlebu kudualus”. Sengkala memet bulus juga mengandung makna bahwa Raden Patah sedang prihatin karena kerajaan ayahnya direbut Girindrawadhana.
Arsitektur Masjid Agung Demak
Melansir dari pariwisata.demakkab.go.id, Masjid Agung Demak dahulunya adalah tempat berkumpulnya Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Inilah yang mendasari Demak mendapat sebutan kota wali. Raden Patah bersama dengan Wali Songo membangun masjid ini dengan memberi gambar serupa bulus yang merupakan candra sengkala memet yang bermakna Sirno Ilang kerthaning bumi.
Secara filosofis bulus menggambarkan tahun pembangunan Masjid Agung Demak yaitu 1401 Saka. Bulus yang terdiri tas kepala memiliki makna 1, empat kaki bulus bermakna 4, badan bulus yang bulat bermakna 0, dan ekor bulus bermakna 1. Hewan bulus memang menjadi simbol Masjid Agung Demak, dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen bergambar bulus di dinding masjid.
Dari sisi arsitektur, Masjid Agung Demak adalah simbol arsitektur tradisional Indonesia yang khas serta sarat makna. Tetap sederhana namun terkesan megah, anggun, indah, dan sangat berkharismatik. Atap masjid berbentuk linmas yang bersusun tiga merupakan gambaran akidah Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Empat tiang utama di dalam masjid yang disebut Saka Tatal/Saka Guru dibuat langsung oleh Wali Songo. Masing-masing di sebelah barat laut oleh Sunan Bonang, sebelah barat daya oleh Sunan Gunung Jati, sebelah tenggara oleh Sunan Apel, dan sebelah Timur Laut oleh Sunan Kalijaga.
Disebut tatal (serutan-serutan kayu), karena dibuat dari serpihan kayu yang ditata dan dipadatkan, kemudian diikat sehingga membentuk tiang yang rapi. Pada tiang-tiang penyangga masjid, termasuk soko guru, terdapat ukiran yang masih menampakkan corak ukiran gaya Hindu yang indah bentuknya. Selain ukiran pada tiang, terdapat pula ukiran-ukiran kayu yang ditempel pada dinding masjid yang berfungsi sebagai hiasan.
Pintu Masjid Agung Demak yang dikenal dengan nama Pintu Bledheg dianggap mampu menahan petir. Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo juga merupakan prasasti Candra Sengkala yang berbunyi Nogo Mulat Sarira Wani, maknanya tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi. Bagian teras Masjid Agung Demak ditopang oleh delapan buah tiang yang disebut Saka Majapahit.
Dalam bangunan utama terdapat ruang utama, mihrab, dan serambi. Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan mengarah ke arah kiblat.
Di bagian belakang ruang utama terdapat serambi berukuran 31 x 15 meter yang tiang-tiang penyangganya disebut Soko Majapahit yang berjumlah delapan buah itu dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.
Atap Masjid Agung Demak bertingkat tiga (atap tumpang tiga), menggunakan sirap (atap yang terbuat dari kayu) dan berpuncak mustaka. Dinding masjid terbuat dari batu dan kapur. Pintu masuk masjid diberi lukisan bercorak klasik. Seperti masjid-masjid yang lain, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan sebuah bedug.
Pawestren merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk s alat jemaah wanita yang dibangun menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap (genteng dari kayu) kayu jati.
Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, 4 di antaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A. Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran maksurah atau khalwat yang bertarikh tahun 1866 M.