Jarang Diketahui, Inilah 6 Orang Pertama yang Jadi Polwan di Indonesia

| 11 Jun 2021 13:53
Jarang Diketahui, Inilah 6 Orang Pertama yang Jadi Polwan di Indonesia
Enam Polwan pertama di Indonesia (Museum Polri)

ERA.id - Ada sejarah menarik soal polisi wanita alias Polwan, di Indonesia. Lahir pada 1 September 1948, kemunculan proses Polwan tidak sederhana dan butuh proses panjang.

Semua berawal dari kota Bukittinggi, Sumatera Barat, tatkala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menghadapi Agresi Militer Belanda II.

Saat itu, terjadi pengungsian besar-besaran. Pria, wanita, dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan.

Saat itu, pengungsi rentang diperiksa polisi, dengan dalih takut ada penyusup. Merasa tak terima, pengungsi wanita enggan diperiksa dan digeledah secara fisik oleh polisi pria.

Nah, dari sana Pemerintah Indonesia menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukittinggi untuk membuka “Pendidikan Inspektur Polisi” bagi perempuan.

Hasilnya, terpilihlah enam perempuan remaja saat itu, Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher.

Mereka semua berdarah Minangkabau dan juga berasal dari Minang. Keterpilihannya sekaligus menorehkan sejarah kalau polisi wanita pertama di Indonesia ada enam orang.

Hasilnya, terpilih enam orang gadis remaja lulusan sekolah menengah untuk mengikuti pendidikan kepolisan wanita tersebut.

Keenam perempuan itu adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau. Enam Srikandi Perintis

Usai terpilih, ikutlah mereka Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukittinggi pada 1 September 1948.

Dikutip dari jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan (1995), keenam perempuan itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria. Setelah pendidikan tersebut, makin akrablah sapaan Polwan untuk mereka.

Masa genting

Tak lama usai dilantik, terjadi Agresi Militer Belanda II. Ibukota RI, yang saat itu di Yogyakarta, diduduki. Sukarno, Mohammad Hatta, dan beberapa petinggi negara, ditawan lalu diasingkan ke luar Jawa.

Agresi itu kemudian membuat pusat pemerintahan di Yogyakarta goyah, namun tidak di Bukittinggi.

Direstui Presiden Sukarno, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) lalu dibuat di sana. Keenam polisi wanita turut ambil bagian.

Salah sau askinya terungkap dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (1998) karya Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi. 

Tertulis bahwa pada masa 1949, Bukittinggi harus dikosongkan. Semua akibat ulah pasukan Belanda yang semakin mendekat.

Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud ditugaskan mendirikan basis pertahanan untuk melindungi proses pengosongan itu.

Selama proses, tiga Polwan yakni Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna ikut serta dalam tugas pengosongan.

Lama-kelamaan, situasi genting mereda dan akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh.

Keenam polisi wanita kemudian melanjutkan pendidikan ke SPN Sukabumi, Jawa Barat. Mereka lulus pada Mei 1951 sebagai inspektur polisi (Achmad Turan & Awaloeddin Djamin, Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000: 119).

Rekomendasi