ERA.id - Tak pernah disangka sekali pun oleh Marry Todd Lincoln bahwa suaminya, braham Lincoln akan mati tertembak di sampingnya. Ketika itu, pada Jumat Agung, 14 April 1865, Mary dan Lincoln naik kereta menuju Ford’s Theatre. Dalam perjalanan, mereka berdua sempat melakukan obrolan yang begitu intim, membicarakan kembali hubungan mereka. Dan itulah obrolan intim yang terakhir antara mereka berdua.
Marry dan Lincoln tiba di Ford’s Theatre terlambat, tetapi kehadiran mereka disambut dengan tepuk tangan yang gemuruh, dengan orkestra "Hail to the Chief". Mereka berada di ruang khusus bersama putri Senator Harris Clara, Clara Hamilton Harris dengan tunangannya Henry Reed Rathbone. Ketika tepuk tangan itu berhenti, drama Our American Cousin lekas dimulai.
Sekitar satu setengah jam pertunjukkan dimulai, Mary menyelipkan tangannya ke tangan Lincoln—semacam ada firasat bahwa suaminya akan pergi selamannya. Ia membungkuk ingin bertanya kepada yang lain, bagaimana pendapat mereka saat melihat ekspresi kasih sayangnya kepada suaminya.
Pertanyaan Mery belum sempat dijawab, seorang pria masuk dalam ruang dan mengarahkan pistol ke bagian belakang kepala sang presien, lalu menarik pelatuknya. Sang presiden merosot ke bawah.
Mary menjerit dan jeritannya menggema ke seluruh ruang Ford’s Theater. Suami yang ia cintai dan sang pembebas budak di Amerika tertembak oleh aktor terkenal John Wilkes Booth.
"Oh, Tuhanku...," ucap Mary seolah tak percaya, "apakah saya telah mengantarnya menuju kematian?"
Perang Saudara di Amerika Serikat
Selama berdirinya negara Amerika Serikat, empat presidennya mati karena terbunuh saat menjabat. Pertama, Abraham Lincoln; kedua, James Abram Garfield; ketiga, William McKinley; dan terakhir John F. Kennedy.
Mungkin pembunuhan Lincoln yang sangat fenomenal. Apa yang mendasari Lincoln ditembak mati?
Lincoln menjadi presiden di saat Amerika Serikat dilanda perang saudara, antara Kubu Union dan Kubu Konfederasi. Kubu Unio di Utara sedangkan Kubu Konfederasi di Selatan. Perang ini juga disebut perang Utara dan Selatan.
Selain menjadi presiden, Lincoln juga pemimpin Union yang ingin menghapus perbudakan di seluruh Amerika Serikat. Mereka sangat getol mengampanyekan antiperbudakan. Di sisi lain, Konfederasi, berusaha mempertahankan status perbudakan yang ada di Amerika.
Pihak Konfederasi yang dipimpin Jefferson Davis juga memperjuangkan kemerdekaan dari Amerika Serikat. Pada 1861, beberapa negara bagian, seperti Carolina Selatan, Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Louisiana, dan Texas membentuk pemerintahan sendiri, yaitu Negara Konfederasi Amerika. Ini berlangsung selama 4 tahun dari 1861—1865.
Akan tetapi, banyak negara lain meragukan berdirinya negara tersebut. Tak satu pun negara di Eropa yang mengakuinya, kecuali satu negara Sachsen-Coburg-Gotha yang sekarang menjadi bagian Jerman.
Sebelum Lincoln dilantik pada 4 Maret 1861, ada tujuh negara bagian yang menyatakan bergabung dengan Kubu Union pada 4 Februari. Ketika pelatikan Abraham Lincoln, di beberapa tempat ada riak-riak kecil untuk memberontak.
Tempat perang sipil ini beradai Wilayah Barat dan Wilayah Timur. Di Wilayah Timur, ada di ibu kota Amerika, Washington, D.C. dan ibu kota Konfederasi di Richmond. Wilayah ini dipegang oleh Robert E. Lee.
Sedangkan, di Wilayah Barat, berada di daerah timur Sungai Mississippi dan bagian barat Pegunungan Applachia. Wilayah ini dipegang oleh Ulysses Grant dari Pasukan Union.
Di bawah pasukan Grant, banyak wilayah Konfederasi dikuasai. Lee menyadari bahwa pasukannya telah kalah banyak sehingga pada akhirnya ia menyerah di hadapan Grant pada 9 April 1865.
Dari keberhasilan itu, Lincoln memutuskan bahwa Grant ialah jenderal terbaik dalam perang saudara tersebut.
Banyak yang tidak menerima atas kekalahan ini. Banyak pengikut Konfederasi yang berusaha untuk menculik atau membunuh Abraham Lincoln selaku presiden dan pemimpin Union.
Keluarga Teater Booth terpecah, ada yang mendukung Union, ada pula ke Konfedarasi. Yang mendukung Konfedarasi adalah John Wilkes Booth.
Sebelum penembakan di Ford's Theater itu, Booth beberapa kali akan menculik Lincoln, tetapi gagal.
Namun, di Jumat Agung itu, Booth dengan keyakinan ideologinya melepaskan peluru ke kepala Presiden Amerika Serikat ke-16. Paca menembak, Both melompat dari balkon dan berteriak "Sic semper tyrannis!" (Begitulah nasib para tiran!)