Sejarah 12 Mei: Tragedi Trisakti, Prolog Mahasiswa Berujung Lengsernya Soeharto

| 12 May 2022 18:54
Sejarah 12 Mei: Tragedi Trisakti, Prolog Mahasiswa Berujung Lengsernya Soeharto
Tragedi Trisakti 1998 (REUTERS)

ERA.id - Mei 1998 ialah potongan sejarah yang mengubah arah gerak Republik Indonesia. Saat itu, banyak korban berjatuhan, banyak darah tumpah, dan presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun jatuh dari tampuk kekuasaannya.

Itu bermula pada 12 Mei 1998, aksi damai dari mahasiswa Trisaksi menentang pemerintah Soeharto. Aksi damai tersebut tak bertahan lama, sebab aparat melakukan tindakan represif.

Awalnya hanya aksi di dalam kampus, tetapi massa ingin keluar pagar. Akhirnya, mahasiswa melakukan demontrasi di jalan, sayangnya mereka diadang oleh aparat.

John Muhammad sebagai koordinator lapangan aksi mengatakan ketika mahasiswa bergerak mundur, tetiba terjadi tembakan gas air mata dan juga muncul penembak jitu. Dikira peluru karet, ternyata tidak. Dari situ terdengar teriakan mahasiswa. 

“Innalilahi, saya langsung lari gedung F, saya lihat Hendriawan Sie mahasiswa Fakultas Ekonomi, kaku sudah meninggal, tak lama kemudian terdengar lagi Innalilahi, saya lari kencang lalu melihat Hery Hertanto yang mengerang kesakitan,” kata John.

Peluru menghantam empat mahasiswa kampus Trisaksi: Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie tewas. 

Sesuai penjelasan John Muhammad sebagai koordinator lapangan, dalam kanal YouTube Menjadi Manusia, aksi 12 Mei itu sebenarnya tidak hanya mahasiswa, elemen lain pun ikut turun ke jalan, seperti senat universitas, karyawan, dan dosen.

Peristiwa itu menjadi salah satu momentum mahasiswa kampus lain untuk bergerak lagi dengan massa lebih besar dan pada akhirnya menjatuhkan Soeharto. Setelah retetan aksi demontrasi oleh para mahasiswa, pada 21 Mei, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia, digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie.

Akan tetapi, mahasiswa belum puas dengan pergantian tersebut. Menurut mereka, Habibie adalah bagian dari Orde Baru. Jadi, harus digantikan. Sehingga, beberapa kali mahasiswa melakukan demontransi.

Mahasiswa dengan foto empat orang korban tragedi Mei mengikuti Peringatan 18 Tahun Tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta (ANTARA)

Turbulensi ‘98

Turbulensi politik Indonesia akhir abad 20 memang sedang keras. Peristiwa demi peristiwa terus terjadi. Kebosanan publik terhadap Soeharto dan antek-anteknya sudah tak tertahan lagi. 

Peristiwa 27 Juli 1996 yang kerap disebut Peristiwa Kudatuli menyita perhatian publik politik Indonesia. Pada hari itu terjadi peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang ketika itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Haryanto Taslam, Wakil Sekjen PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri, dikabarkan hilang. Pada 20 April 1998, telah kembali ke keluarganya. 

Pemantik kerusuhan Mei ketika beberapa korban penculikan dilepaskan, seperti diberitakan harian Kompas, 8 April 1998.

Pada 8 Mei 1998, di Yogyakarta, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma pun tewas dipukul dengan benda tumpul ketika demonstrasi menuntut Soeharto turun. 

Aksi domonstrasi menuntut Soeharto turun juga dilakukan di beberapa daerah. Seperti di Solo, Jawa Tenggah, dari tanggal 14—15 Mei. Di Solo terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa. Sebanyak 25 pengunjuk rasa luka-luka akibat tembakan peluru karet yang dilepas aparat dan lebih dari 100 luka-luka akibat lemparan batu dan gebukan.

Pada 13 November 1998, sekitar 17 orang warga sipil dilaporkan tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat ditembak dan dipukul dengan benda tumpul oleh aparat. Peristiwa ini disebut Tragedi Semanggi I. Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil menolak keras agenda dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR yang menunjuk BJ Habibie sebagai presiden.

Dari peristiwa itu dan banyak peristiwa pelanggaran HAM yang belum tuntas di negeri Indonesia, sejak 18 Januari 2007 aktivis kemanusiaan, penyintas korban, dan keluarga korban menggelar aksi Kamisan di depan Istana Presiden.

Karena pelanggaran HAM belum selesai, aksi Kamisan terus ada hingga kini.

Aktivis HAM Sumarsih berorasi saat aksi Kamisan ke-600 di Jakarta, Kamis 5 September 2019 (ANTARA)