Main Tarkam atau Keluarga Tak Makan?

| 01 Dec 2020 10:03
Main Tarkam atau Keluarga Tak Makan?
Ilustrasi tarkam (Jurnaba)

ERA.id - Pemain Bhayangkara Solo FC, Saddil Ramdani dan pemain PSM Makassar Bayu Gatra sempat disorot karena bermain sepak bola antarkampung (Tarkam).

Ada yang melumrahkan tapi tak sedikit yang mengecam, bahkan caci maki mereka begitu mudah tertulis dalam media sosial. Secara etik bermain tarkam memang tak pantas apalagi bagi seorang pemain profesional yang terikat klub.

Pemain profesional mendapat gaji yang pantas dari klub yang menaunginya, tentu memiliki kesepakatan-kesepakatan yang tak boleh dilanggar, seolah burung yang terjerat sangkar.

Namun, ada saja yang bisa lolos dan bermain sesuka hatinya termasuk tarkam. Untuk mengakalinya, tarkam dianggap seolah wadah menjaga kebugaran. Padahal bermain tarkam sangat rentan terkena cedera, yang tak sedikit membuat pemain harus menepi sangat lama bahkan permanen.

Faktor lapangan yang tak sesuai standar, potensi kericuhan usai pertandingan, hingga tak ada jaminan kesehatan apabila terkena cedera, mengintai para pemain setiap berlaga tarkam.

Kita pasti sepakat bahwa tarkam sangat "diharamkan" bagi para pemain profesional, tapi kita juga harus menyadari hingga batas tertentu untuk mewajarkan tarkam dalam kondisi yang tak ideal dan sangat terdesak seperti saat ini, saat liga resmi vakum terpenjara pandemi Covid-19.

Liga yang vakum

Liga Indonesia saat ini memang tengah ditangguhkan akibat pandemi COVID-19 sejak Maret, saat itu kompetisi baru berjalan tiga pertandingan.

PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (selaku operator kompetisi) masih mencari formula agar kompetisi bisa bergulir di tengah pandemi. Mulanya kompetisi dijadwalkan berlanjut pada 1 Oktober. Beberapa hari jelang Kickoff, PSSI harus kembali menunda karena tak mendapat izin dari kepolisian.

PSSI, PT LIB, dan seluruh perwakilan klub lantas menggelar pertemuan membahas bagaimana nasib kompetisi ini. Seluruh klub sepakat untuk tetap melanjutkan dan berharap federasi memberikan jalan terbaik.

PSSI dan PT LIB lantas menelurkan tiga opsi yakni liga digelar 1 November, apabila masih belum mendapat izin kompetisi, bisa dimundurkan sebulan. Opsi lainnya dilanjutkan pada Januari dengan format dua wilayah.

Dari seluruh opsi tersebut, tak ada yang bisa dikerjakan karena tetap: polisi tak memberikan izin penyelenggaraan dengan alasan kurva penularan masih tinggi dan ada Pilkada.

Dalam rencana terbaru, PSSI dan PT LIB mewacanakan liga digelar pada Februari, tetapi pertanyaannya siapa yang bisa menjamin pandemi telah teratasi pada awal tahun depan meski mereka--bahkan pemerintah--selalu mengagung-agungkan "penerapan protokol kesehatan yang ketat".

Tarkam dan kultur sepak bola kita

Sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang paling populer di Indonesia, bukan hanya untuk dimainkan, tapi juga asik ditonton. Entah itu di lapangan luas maupun di gang-gang sempit, olahraga ini memiliki daya tarik yang mampu memikat orang.

Tidak ada literatur sejarah yang bisa memastikan sejak kapan tarkam dimainkan. Fenomena tersebut seolah menjadi sebuah tradisi yang terus-menerus menggelinding di sepak bola Indonesia.

Di beberapa daerah, terutama di pedesaan, tarkam menjadi seolah adu gengsi antar kampung: mana yang sepak bolanya lebih hebat? Jika dulu tarkam adalah jalan memperpanjang silaturahmi dan pertemanan, kini fanatisme beraroma adu gengsi menjadi lebih kentara.

Sejumlah pengusaha yang memiliki uang berlimpah dan tentunya ingin ada hiburan yang menarik, berlomba-lomba menggelar turnamen. Tak sedikit dari mereka yang mengundang pemain kenamaan demi meramaikan gelaran tersebut, bahkan sampai ada yang memanggil pemain luar yang memiliki portofolio pernah bermain di klub liga Indonesia.

Tawaran dana yang besar secara sekejap mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah, membuat sulit bagi para pemain profesional untuk memalingkan muka meski ancaman besar mengintai mereka.

Dapur yang harus ngebul

Kita mungkin sepakat, bermain di tarkam memang bukan keinginan para pemain profesional atau mungkin menjadi opsi terakhir agar bisa tetap menyambung hidup.

Jika menilik pada dokumentasi berita-berita terdahulu, sudah tak terhitung berapa banyak pemain sepak bola kita yang wajahnya terpampang di koran-koran tengah mempermalukan dirinya ikut tarkam.

Apalagi di era digital saat ini, tidak sulit untuk mencari dokumentasi pemain profesional yang ikut tarkam. Saddil Ramdani dan Bayu Gatra menjadi yang terbaru meski pada akhirnya mereka mengonfirmasi bahwa keduanya tak ikut dalam tarkam tersebut.

Sebagai seorang atlet, tingkat kebugaran dan sentuhan bola tentu harus terus dijaga. Semakin lama seorang pesepakbola tidak bertanding, semakin menurun kebugaran dan ball feeling pemain tersebut.

Sudah masuk dalam hitungan sembilan bulan pemain tak berkompetisi secara kompetitif. Meski mereka selalu berlatih mandiri, tapi bukan jaminan pula sentuhan, kebugaran, dan mental bertanding akan tetap terjaga.

Di samping menjaga kondisi kebugaran, faktor pendapatan menjadi momok utama. PSSI telah menerbitkan surat keputusan yang isinya klub berhak memangkas gaji pemain hingga 75 persen dari nilai kontrak. Atau dengan kata lain, pemain hanya digaji seperempatnya saja dalam ketiadaan kompetisi.

Nilai itu berdasarkan perhitungan PSSI dengan dasar asumsi semua pihak terkena imbas dari pandemi COVID-19 sehingga pemain harus mafhum atas segala keputusan tersebut.

Di sisi lain, angka tersebut terutama bagi para pemain yang menggantungkan hidupnya dari sepak bola semata, tentu berat dan mereka harus memutar otaknya agar nominal tersebut bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Belum lagi jika klub menunda atau memangkas lagi gaji karena sama-sama tak ada pemasukan. Kucuran sponsor terhenti, pendapatan dari tiket tak ada, pemangkasan dana subsidi dari operator kompetisi pun bisa saja terjadi.

Padahal ada istri yang dapurnya harus tetap ngebul, ada anak yang merengek jajan, sehingga pada akhirnya para pemain ada dalam batas melakukan pekerjaan apa saja demi menghidupi keluarganya, termasuk bermain di tarkam.

Maka, ketimbang mencaci-maki para pemain yang bermain tarkam demi keberlangsungan hidup mereka, akan lebih baik jika kita melimpahkan energi dan emosi untuk mencari jawaban, kenapa pandemi tak kunjung usai? Temuan kunci jawaban ini akan menyelesaikan banyak persoalan, termasuk dilema tarkam.

Tags : sepak bola
Rekomendasi