Menjarah Kaleng Susu dan Mentalitas Kerumunan Bangsa Kita

| 23 Aug 2023 20:20
Menjarah Kaleng Susu dan Mentalitas Kerumunan Bangsa Kita
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

Kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran.

Doa Orang Lapar - WS Rendra

ERA.id - 28 tahun lalu, Rendra menulis bahwa kelaparan tak ubahnya berjuta-juta burung gagak hitam yang menakutkan. Seorang pemuda gagah bisa menangis melihat tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah karena kelaparan.

Saya berani bertaruh, rata-rata berita kejahatan yang kita baca saban hari dilatari perut kosong dan dapur tak ngebul. Sebagian ada yang membuat kita prihatin, terenyuh, dan mengutuk nasib yang tak berpihak pada orang kalah. Waktu pandemi lalu misalnya, pria bernama Atek di Medan mencuri beras di warung gara-gara kelaparan. Polisi yang meringkusnya saja sampai kasihan hingga membelikannya sekarung beras dan sebaki telur.  

Di sisi lain, ada juga berita yang membuat kita muak. Saya beri dua contoh. Pertama, Senin (21/8/2023) kemarin ada truk terguling di Indramayu. Muatannya berkaleng-kaleng susu Bear Brand. Ironisnya, warga berbondong-bondong turun ke jalan bukan demi menolong sopir yang kecelakaan, tapi berebut menjarah ribuan susu gratis yang berserakan. Setelah itu, banyak yang menjual Bear Brand dengan harga miring di Facebook.

Kedua, pada Selasa (15/8/2023), pikap bermuatan penuh bawang merah berangkat dari arah Nganjuk ke Wonogiri. Ketika melewati Ponorogo yang sedang menggelar kirab budaya, puluhan warga menyerbu bak pikap dan menjarah bawang merah sedapatnya. Kerugian ditaksir hingga Rp4 juta dan sang pemilik mengikhlaskannya.

Saya tak bisa membayangkan ada orang kaya rela turun ke jalan hanya untuk mengais sekaleng susu dan segenggam bawang. Maka kita bisa berasumsi kedua kasus di atas dilakukan oleh orang-orang biasa dengan taraf ekonomi rendah. Namun, meski pelakunya orang-orang susah, mengapa kita sulit berempati membaca berita tadi?

Andai saja korban penjarahan merupakan cukong-cukong pelit, bos-bos tukang peras dan senang foya-foya, atau pejabat korup, kita tentu masih bisa memakluminya. Sebagaimana kita membaca kisah Robin Hood atau Sunan Kalijaga yang dulu merampas harta orang kaya lalu dibagi-bagi ke fakir miskin. Kita mungkin tak bisa membenarkan tindakan mereka, tapi tetap setengah hati buat menyebut mereka penjahat.

Sementara itu, para penjarah susu Bear Brand dan bawang merah sebelumnya mengambil dari orang yang bukan siapa-siapa. Korbannya sopir yang mungkin hanya bertugas mengantar barang dengan selamat. 

Mereka tak jauh beda dengan pengutil di minimarket yang mengira tak bakal merugikan siapa pun, padahal ada kasir yang dipotong gajinya buat mengganti barang yang hilang dari rak. Orang kecil menjarah orang kaya dan membagi hasilnya bersama orang kecil lain mungkin dipanggil pahlawan. Namun, orang kecil yang menjarah sesamanya lebih cocok disebut pecundang. Itulah yang membuat kita muak.

Mentalitas kerumunan: berlindung di balik orang banyak

Di antara kita mungkin ada yang masih ingat dengan kerusuhan ‘98–atau malah ikut terlibat. Soeharto dipaksa turun; Orde Baru tamat; reformasi digaungkan di mana-mana. Dari sekian kabar baik tadi, sebagaimana perjuangan lain, selalu ada yang dikorbankan. Dan nasib apes waktu itu dihadapi banyak warga keturunan Tionghoa: toko-toko mereka dijarah; mobil-mobil dibakar; dan perempuan-perempuan diperkosa.

Salah seorang penjarah yang sempat diwawancara Vice bilang, pekan paling kacau sepanjang 1998 itu dianggap sebagai “Hari Kebebasan”, di mana orang-orang bebas masuk ke toko mana saja dan mengambil apa saja. Namanya Mulyadi, dan ia tergiur untuk ikut menjarah setelah mendengar temannya pulang membawa kasur dan pakaian dari pusat perbelanjaan di Tomang.

Ketika membaca berita penjarahan susu dari truk yang terguling dan warga berbondong-bondong menghadang pikap untuk mengutil bawang merah, sekilas saya mengingat kerusuhan ‘98 dan membatin betapa tak banyak yang berubah dari budaya kita.

Kok bisa orang-orang jadi seberingas itu? Bisa-bisanya mereka berhamburan ke jalan raya dan saling berebut barang yang jatuh di atas penderitaan orang lain seperti menjarah harta rampasan perang.

Penulis Okky Madasari mengurai fenomena seperti di atas dengan istilah “mentalitas kerumunan”.

“Seorang individu akan langsung merasa eksis, percaya diri, punya keberanian untuk melakukan segala sesuatu karena dia merasa sudah menjadi bagian dari keberanian besar,” ucap Okky.

Ia mengutip filsuf Spanyol, José Ortega y Gasset, dalam bukunya Revolt of The Masses yang menjelaskan bagaimana orang-orang dalam kerumunan sering kali bergerak tanpa nilai. 

Ortega mengamati krisis di Eropa pada akhir 1920-an yang menyebabkan situasi yang ia sebut sebagai a rebellion of the masses atau ‘pemberontakan massa’. Menurutnya, massa adalah kumpulan orang tanpa kualifikasi khusus dan setiap individu di dalamnya melebur jadi satu. 

“Manusia-manusia kerumunan ini akan tidak berdaya jika sedang sendirian,” tulis Okky dalam esainya Jarimu Beringas, Fantasimu Norak. “Manusia kerumunan ini tidak pandang kelas sosial. Ia bisa berasal dari kelompok miskin, ia juga bisa berasal dari kelompok kaya.”

Di Indonesia, mentalitas kerumunan macam ini sering betul kita saksikan bulat-bulat. Setiap ada kecelakaan, orang-orang berkerumun karena penasaran melihat ada keramaian. Setiap ada hajatan besar, mau berapa kali pun dibilang untuk menjaga kebersihan, nyaris selalu panitia kerepotan membersihkan tempat sehabis acara karena sampah berserakan. Setiap ada yang diteriaki maling, orang-orang langsung memburunya kesetanan tanpa perlu tahu faktanya.

Dalam kerumunan, orang-orang merasa aman dan benar. Masing-masing individu juga merasa punya pembenaran atas yang mereka perbuat hanya karena orang lain juga melakukannya. Kejahatan lalu bisa dimaklumi karena dilakukan banyak orang. 

Konsekuensi mentalitas kerumunan itu, menurut Ortega, membuat rata-rata manusia kehilangan fungsi “pendengarannya”. Mereka buta dan tuli dan hanya ingin orang lain memaklumi tindakan mereka. Maka ketika kita melihat truk terguling dan orang-orang berkerumun menjarah muatannya, kita hanya bisa mengelus dada.

Budaya korup sejak dini

Sebentar lagi pemilu. Meski belum masuk masa kampanye, muka-muka bertabur senyum para politikus sudah menghiasi sudut-sudut kota kita dengan jargon klasik: demi perubahan; demi Indonesia lebih baik; jujur dan amanah; jujur dan terpercaya; berjuang untuk rakyat; bela rakyat; pro orang kecil.

Di satu sisi kita disuguhi janji-janji manis calon pejabat, di sisi lain kita membaca berita kongkalikong dan korupsi pejabat tiap hari. Sungguh kontradiksi yang membuat kita geleng-geleng kepala dan berucap amit-amit.

Para pengamat selalu mengatakan ongkos politik kita mahal dan para politikus menjadikannya pembenaran berbuat korup sambil menyalahkan rakyat yang terus-terusan minta uang. Dalam situasi begini, penjarahan-penjarahan yang jamak terjadi di jalanan semakin mempertegas argumen bahwa bukan hanya pejabat yang korup. Bahwa budaya korup mengakar jauh di sendi-sendiri masyarakat.

Bukankah ironis, selagi kita sibuk berbusa-busa melaknat pejabat korup dan keluarganya, masih banyak yang malu-malu menerima uang mereka saat pemilihan untuk ditukar dengan suara. Kita boleh berdalih itu salah mereka yang memberi uang, lalu bagaimana dengan beribu-ribu kaleng susu dan berkilo-kilo bawang merah yang dijarah tanpa ampun? Saya harus bilang, selagi masih ada kasus-kasus begitu, sulit rasanya membayangkan Indonesia bebas dari politik uang.

Rekomendasi