ERA.id - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sedang menghadapi krisis kepercayaan setelah kasus pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo dan komplotannya, dilanjutkan dengan Tragedi Kanjuruhan pada awal Oktober yang menewaskan hingga 135 orang.
Presiden Joko Widodo sampai memanggil jajaran petinggi Polri ke Istana Negara, Jumat (14/10). Pada kesempatan itu, Jokowi menyinggung kepercayaan masyarakat kepada Polri yang merosot jauh.
Menurut Jokowi, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri masih di angka 80,2 persen pada bulan November 2021. "Sangat tinggi, bukan tinggi, tapi sangat tinggi sekali.” Ia lalu membandingkan persentase tersebut dengan bulan Agustus 2022 yang hanya mencapai 54 persen. "Drop, sangat rendah sekali."
Setelah disinggung begitu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mulai memberi berbagai arahan kepada personel-personelnya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Mulai dari larangan tilang manual, hingga arahan untuk memberikan kesempatan kedua bagi masyarakat yang yang gagal dalam tes ujian pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Apakah langkah-langkah yang diambil oleh Kapolri sudah tepat dan presisi sebagaimana jargon Polri selama ini?
Memoles citra Polri lewat kebijakan yang dekat dengan masyarakat
Sejatinya, Kapolri sudah meluncurkan program penerapan tilang elektronik (ETLE) sejak Maret 2021. Tahap pertama penerapan ETLE nasional dimulai dari 12 Polda se-Indonesia dan diresmikan di Gedung NTMC Polri, Selasa (23/3/2021). Tahap kedua penerapan ETLE nasional mencangkup 26 Polda dan diresmikan setahun kemudian, Sabtu (26/3/2022).
Namun, selama penerapannya, masih sering ditemukan tilang manual yang dilakukan para polisi lalu lintas. Banyaknya razia-razia di jalan dan operasi zebra membuka peluang oknum-oknum polisi menarik pungutan liar (pungli) dari para pengendara.
Hal itu menjadi sorotan Listyo dalam upayanya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Listyo lantas memberi arahan langsung agar polisi menghentikan tilang manual. “Kalau ada yang melanggar, tegur, perbaiki, arahkan, dan kemudian setelah itu dilepas,” ujarnya dalam video unggahannya di instagram, Jumat (21/10).
Listyo juga menegaskan untuk menyetop pungli di berbagai sektor pelayanan masyarakat. “Beri nomor-nomor yang bisa dihubungi, terkait dengan masalah humas presisi, propam presisi, nomor handphone para kapolsek, para kapolres, para kapolda. Sehingga masyarakat kalau kemudian menemui hal-hal yang menurut mereka ini menjadi potensi-potensi pungli, mereka bisa lapor,” tegasnya.
Selain itu, Listyo juga berusaha meraih kepercayaan masyarakat dengan mempermudah proses pembuatan SIM. Hal itu tertuang dalam telegram Nomor: ST/2386/X/YAN.1.1./2022 tertanggal 31 Oktober 2022 yang ditandatangani oleh Kakorlantas Polri Irjen Firman Shantyabudi atas nama Kapolri.
“Bagi peserta yang dinyatakan tidak lulus ujian penerbitan SIM, dapat langsung melaksanakan ujian ulang pada hari itu juga atau dalam kurun waktu 14 hari kerja terhitung mulai tanggal dinyatakan tidak lulus,” bunyi telegram tersebut, Rabu (2/11).
Sebelumnya, menurut Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi, peserta yang gagal dalam ujian pembuatan SIM baru bisa mengulang ujian di hari berikutnya.
Arahan Kapolri untuk memberi kesempatan di hari yang sama jelas menyingkat waktu bagi peserta yang gagal ujian. Namun, hal itu tidak serta merta mempermudah ujian pembuatan SIM di Indonesia, yang terkenal dengan tingkat kesulitannya yang tinggi.
Misalnya pembuatan SIM C dengan uji slalom (zig zag), uji membentuk angka 8, dan melewati u-turn tanpa memijakkan kaki. Selama ini, potensi-potensi pungli terjadi akibat kesulitan ujian tadi, yang menyebabkan banyak orang akhirnya memilih untuk membayar agar memperoleh SIM lebih cepat dan pasti.
Safari Kapolri ke pesantren-pesantren
Langkah Listyo selanjutnya untuk mendapat lebih banyak dukungan adalah lewat kunjungan ke berbagai ulama. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kiai atau pengasuh pesantren punya banyak jamaah mulai dari santri hingga jaringan alumni. Maka, Listyo melakukan safari ke pesantren-pesantren di Jawa Tengah, Minggu (30/10).
Bersama rombongan pejabat Polri, Listyo menumpang helikopter dan menuju Rembang, Jawa Tengah. Pertama kali ia mendarat di lapangan sepak bola Gondan, Sarang, dan segera menuju Pondok Pesantren Al-Anwar, bertemu dengan keturunan dari Mbah Maimoen Zubair yang tersohor, mulai dari K.H. Muhammad Najih (Gus Najih), K.H. Abdul Ghafur Maimoen (Gus Gofur), H. Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin), dan K.H. Muhammad Idror Maimoen (Gus Idror).
Selanjutnya, Listyo mengunjungi Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an (LP3IA), Narukan, asuhan K.H. Bahauddin Nursalim (Gus Baha). Setelah itu, Listyo mengunjungi lebih dari 50 kiai dari berbagai daerah.
Dalam kunjungannya tersebut, Listyo menyampaikan kepada masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Ia juga memastikan bahwa Polri bertugas memberikan pelayanan terbaik. “Tugas kami dalam kondisi apa pun kami harus tetap memberikan pelayanan terbaik ke masyarakat di bidang kamtibmas dan penegakan hukum," ucap Listyo di atas panggung, Minggu (30/10).
Memperbaiki Polri dari akarnya
Upaya Kapolri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegakan hukum ini patut diapresiasi, meskipun Listyo belum menyentuh soal-soal substansial yaitu perbaikan sistem di tubuh Polri.
Listyo menyadari gaya hidup mewah yang kerap diperlihatkan pejabat Polri. Jokowi juga dengan tegas mengingatkan Polri agar punya sense of crisis. “Masalah kebiasaan-kebiasaan menggunakan mobil bagus, motor gede, situasinya lagi tidak baik,” kata Listyo, Senin (24/10). “Saya tahu mungkin keluarga rekan-rekan juga berangkat dari orang berada, tapi saat ini bukan waktunya untuk dipamer-pamerkan,” lanjutnya.
Hari ini masyarakat bisa dengan gampang mencari tahu berapa penghasilan polisi dan harta kekayaan yang mereka miliki. Berdasarkan data dari LHKPN, mantan Kapolda Sumatera Utara, Teddy Minahasa, yang menjadi polisi terkaya di Indonesia memiliki aset sebesar Rp29,9 miliar. Teddy lalu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus peredaran narkoba, Jumat (14/10).
Hal ini tentu membuat masyarakat bertanya-tanya dari mana penghasilan para pejabat Polri berasal. Apakah beberapa dari mereka bisa hidup mewah semata-mata karena berasal dari keluarga berada, seperti yang disampaikan Listyo, atau karena sumber-sumber ilegal yang melanggar hukum seperti pada kasus Teddy?
Langkah-langkah yang dilakukan Listyo untuk institusinya memang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat, tetapi tanpa memperbaiki akar-akar permasalahan di tubuh Polri, kepercayaan itu nanti akan tumbang lagi.