ERA.id - Ifah mendapat panggilan dari teman kuliahnya dua hari sebelum acara puncak peringatan Satu Abad Nahdlatul 'Ulama (NU) di Sidoarjo. “Berangkat tidak ya?” tanya sang teman ragu-ragu. Keduanya telah lama tinggal di Jakarta sejak akhir 1980-an.
“Ya berangkat, kata suamiku pas peringatan dua abad nanti kita udah mati,” Ifah menjawab singkat. “Mumpung sekarang masih hidup.” Jawaban itu melunturkan keraguan di hati temannya. Esok harinya, mereka berdua terbang ke Surabaya dan segera merapat ke Sidoarjo untuk menyambut abad baru bagi organisasi kecintaan mereka.
Ifah hanya satu dari jutaan warga nahdliyyin yang berbondong-bondong menghijaukan Sidoarjo lewat berbagai moda transportasi. Ada yang menumpang pesawat, naik kereta, menyewa bus, menyetir mobil, berboncengan motor, hingga jalan kaki seperti yang dilakukan ratusan nahdliyyin dari Pasuruan.
NU menggelar acara besar-besaran di Gelora Delta Sidoarjo untuk merayakan seratus tahunnya, Selasa (7/2/2023). Terhitung sejak hari Ahad sebelumnya, jalan-jalan di kota tempat bencana lumpur Lapindo itu penuh sesak dan macet di mana-mana.
Usia seratus tahun NU dihitung dari penanggalan hijriah yang bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H. Sebab jika dihitung pakai tanggalan masehi, usia NU baru 97 tahun pada 31 Januari kemarin.
Pada malam Selasa menjelang acara puncak harlah NU, tampak ribuan jamaah sudah menunggu di jalanan sekitar Gelora Delta beralaskan tikar dan sajadah seadanya. Mereka berjam-jam menunggu acara dimulai sambil bercengkerama dan berzikir.
Esoknya, lebih dari 30 ribu jamaah memenuhi tribun Gelora Delta, sedangkan sisanya yang tak bisa masuk menyesaki luar stadion sambil menonton siaran langsung dari layar di parkiran timur. Barisan Serbaguna (Banser) NU merapatkan saf di atas lapangan sambil kepanasan dan berpeluh.
Di atas panggung utama dalam stadion, berdirilah Ketua Umum NU K.H. Yahya Cholil Tsaquf untuk membuka acara. Sambutannya singkat saja, tak lebih dari tiga menit, tetapi menggelegar dan bikin banyak orang menangis haru.
“Warga NU, pencinta-pencinta NU yang aku cintai, selamat datang di abad kedua Nahdlatul 'Ulama! Indonesia, selamat datang di abad kedua Nahdlatul 'Ulama! Dunia, selamat datang di abad kedua Nahdlatul 'Ulama!” ucap Gus Yahya tegas dan kuat, lalu menutupnya dengan sebait doa. “Wahai abad kedua, rengkuhlah kami dalam berkah, dalam harapan, dalam prasangka baik akan ridha Allah, pertolongan Allah Yang Maha Rahman, Yang Mahaesa.”
Seratus tahun bukan umur yang pendek bagi sebuah jam’iyyah (organisasi) untuk terus hidup dan relevan. NU berhasil melewatinya, dan bukan hanya bertahan, tetapi terus berkembang hingga sebesar sekarang. Tak banyak organisasi yang seperti itu, mungkin bisa dihitung jari. Wajar kalau kemudian ada yang bertanya-tanya, kok bisa? Apa rahasianya? Kebanyakan warga NU mungkin akan menjawab sederhana saja: Berkah ulama.
Konsep berkah atau yang dibilang Imam Al-Ghazali sebagai ziyadah al-khair (kebaikan yang terus bertambah) mungkin hanya dimengerti kalangan NU. Bagi orang luar, itu masih terdengar asing. Kalau mau dijabarkan, berkah tadi adalah wujud dari nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun sejak zaman muassis (pendiri) NU, mulai dari tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleransi).
Kesadaran NU atas sebuah bangsa bernama Indonesia
Tak berlebihan kalau kita menyebut selama bangsa Indonesia ada, sepanjang itu juga NU akan terus berdiri. Kesadaran NU atas kehidupan berbangsa adalah salah satu sebab ia tahan banting hingga seratus tahun lamanya, itu juga yang membuat NU penting untuk terus dirawat dan dipertahankan.
Bukan rahasia lagi kalau warga nahdliyyin terkenal sangat nasionalis –kalau bukan yang paling nasionalis. Saat ada sebagian golongan menyerukan pendirian Negara Islam Indonesia (NII) hingga khilafah Islam, NU selalu setia dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kata Gus Ulil Abshar Abdalla, nasionalisme NU itu ibarat cinta tak bersyarat.
Kecintaan ini tak lain diwariskan dari para leluhur NU. Mbah Hasyim Asyari misalnya, selaku pendiri NU, menyerukan fatwa Resolusi Jihad 1945 yang mewajibkan muslim Indonesia mempertahankan negara ini dari penjajah.
Sebelum itu, pada Muktamar NU 1935 di Banjarmasin, ribuan ulama yang datang dihadapkan pada satu persoalan saat bahtsul masail (forum diskusi ilmiah): Wajibkah kaum muslimin mempertahankan kawasan Indonesia (waktu itu dikenal dengan Hindia Belanda) padahal diperintah orang-orang non-muslim?
Mereka sepakat bahwa itu wajib hukumnya, karena dua sebab. Pertama, muslim tetap bebas menjalankan ajaran agamanya. Kedua, di kawasan itu dulu sudah ada Kerajaan Islam.
Kata Gus Dur dalam tulisannya NU dan Negara Islam, itu bukan karena NU menolak kekuasaan Islam, tapi NU sadar pluralitas bangsa tak bisa disatukan dan dipaksa tunduk pada satu hukum agama. “Ajaran Islam menjadi tanggung jawab masyarakat, dan bukannya negara,” tulis Gus Dur.
Kecintaan dan kesadaran berbangsa itulah yang terus hidup selama seratus tahun dalam urat nadi NU. Maka bisa dipastikan tiap ada gagasan dan gerakan khilafah, radikalisme agama, hingga terorisme, NU selalu berada di garda terdepan yang melawannya. Dan negara yang selalu berhadapan dengan ancaman disintegrasi bangsa dan perpecahan selalu membutuhkan NU sebagai pihak pemersatu.
NU yang selalu beradaptasi dan mencari titik temu
NU mungkin tampak tradisional dan tertinggal selangkah di belakang soal modernisasi, misalnya jika dibandingkan Muhammadiyyah dengan kampus-kampus dan rumah sakitnya yang jempolan. Namun, jika bicara soal pemikiran beragama, boleh dibilang NU selangkah di depan.
Mayoritas warga nahdliyyin bisa memposisikan dengan baik antara syariat sebagai ketentuan Allah yang tetap dan fikih sebagai penafsiran ulama atas teks-teks agama. Hal ini membuat kiai-kiai NU lebih terbuka kepada tantangan zaman dan terus mencari titik temu antara hukum Islam dan tradisi masyarakat setempat. Karena itu juga NU mengakui perbedaan mazhab dalam Islam, menghargai keragaman pendapat, dan tak gampang mengkafirkan sesama muslim.
Ulama NU memang selalu merujuk kepada pendapat ulama-ulama terdahulu saat berpendapat, tetapi mereka tak membatasi diri terhadap masa lalu dan selalu berusaha mencari solusi hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman, selama itu tidak bertentangan dengan asas-asas Islam.
Pembaharuan-pembaharuan itu terwujud dalam tradisi bahtsul masail. NU selalu tanggap dalam merespon isu-isu baru yang berkaitan dengan kehidupan beragama dan mengeluarkan fatwa yang dianggap sesuai. Misalnya, waktu pandemi kemarin, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU mengeluarkan larangan Jumatan bagi masyarakat muslim yang berada di zona merah Covid-19.
Karena itu juga, NU oleh sebagian golongan sering dicap sebagai sarang bid'ah (hal-hal baru dalam agama yang tak ada tuntunannya oleh Nabi Muhammad). Namun, NU tetap bertahan pada prinsipnya, bahwa pembaharuan dalam beragama adalah keniscayaan, sepanjang tidak melewati batas yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Dengan cara itulah agama dan NU akan terus relevan dari masa ke masa.
Perihal toleransi dan jalan damai yang ditempuh NU
Dibandingkan organisasi Islam lainnya, NU rasanya yang paling mudah berbaur dengan umat beragama lain. Lagi-lagi ini berakar dari kesadaran NU terhadap keberagaman masyarakat sebagai fitrah. Karena itu juga setiap murid yang belajar di sekolah NU selalu diajarkan tentang ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia).
Ketika ada sebagian umat Islam yang merasa harus menjaga jarak kepada non-muslim dengan dalih menyelamatkan akidahnya, NU justru rutin menyebar anggota Banser-nya untuk menjaga di pintu-pintu gereja saban perayaan Natal. Warga nahdliyyin diajarkan untuk menjadi air yang muat di wadah apa pun tanpa perlu mengubah dirinya sendiri.
Kita juga tak akan lupa bahwa larangan perayaan Imlek baru dicabut lewat Keppres No. 6 Tahun 2000 pada era presiden Gus Dur, yang sebelumnya adalah Ketua Umum NU. Bagi Gus Dur, pelaksanaan kegiatan agama tak terpisahkan dari hak asasi manusia dan harus dijamin kebebasannya. Nilai-nilai toleransi inilah yang umumnya dilestarikan oleh warga NU.
Pada akhirnya, meski NU berbasis massa muslim, ia perlahan jadi rumah besar bagi golongan minoritas. Mengapa NU bisa menjadi demikian inklusif dan terbuka? Mungkin karena dalam tubuh NU sendiri –yang kini diakui sebagai ormas Islam terbesar– tak hanya berisi golongan yang seragam, bahkan ada yang saling bertolak belakang.
Kita tahu ada sebagian warga NU yang berkiblat kepada tokoh-tokoh konservatif seperti Habib Rizieq Syihab atau Kiai Idrus Ramli. Ada juga yang beraliran agak liberal mengikuti jejak Gus Dur atau Gus Ulil. Sementara sebagian lain berada di tengah-tengahnya, seperti K.H. Mustofa Bisri atau Gus Bahauddin Nur Salim.
Perbedaan pandangan begitu bukan hal baru di NU. Sejak dulu, silang pendapat antar kiai sudah jadi sarapan sehari-hari. Misalnya, antara Kiai Bisri Syansuri yang ketat soal hukum dan Kiai Wahab Chasbullah yang lumayan moderat. Gus Dur pernah bilang kalau mereka debat masalah hukum agama bisa sampai gebrak-gebrak meja. Namun, kalau sudah mendengar azan, mereka akan berhenti dan berjalan ke masjid bareng.
Begitulah NU, anggotanya bisa saling berbeda pendapat dan berdebat tajam, tapi semuanya selalu sepaham soal persaudaraan dan persatuan bangsa. Seperti yang tercantum dalam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I dalam rangkaian acara satu abad NU:
“Cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim.”