ERA.id - Kenangan manis saya dengan televisi tinggal kartun-kartun yang tayang di RCTI dan Indosiar pada Minggu pagi belasan tahun silam. Hari ini saya mengontrak rumah bersama istri dan kami belum ada niatan membeli TV sama sekali. Alasan pertama, paling-paling kami seharian di rumah hanya pas akhir pekan. Kedua, hiburan kami terpenuhi dengan adanya hp.
Sekali pun hari ini sudah banyak stasiun TV Indonesia yang merambah online dan menyediakan layanan live streaming seperti RCTI+, bagi milenial seperti saya, tak ada acara yang menarik. Tontonan tv dalam negeri rasanya hanya diperuntukkan bagi ibu-ibu dan pekerja rumah tangga yang masih awam teknologi.
Malahan, ketimbang acara lokal, saya cenderung menggandrungi produksi Korea Selatan. Bukan hanya dramanya yang tak bisa dibandingkan dengan sinetron Indonesia, tapi juga variety show hingga reality show mereka yang lebih beragam.
Reality show Indonesia kebanyakan berfokus kepada keseharian para artis. Di Trans TV misalnya, ada tontonan kehidupan keluarga Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam program “Janji Suci Raffi & Gigi”. Ada juga “Diary The Onsu” yang menyoroti aktivitas keluarga Ruben Onsu. Lalu “Keluarga Bosque” yang menampilkan kegiatan sehari-hari Baim Wong dan Paula Verhoeven.
Mengapa saya harus menonton daily life artis? Sementara semua nama-nama di atas juga punya channel Youtube sendiri yang juga menampilkan kehidupan mereka. Di sini tim produksi tampak sekali kekurangan ide dan malas-malasan berproses kreatif.
Selain keseharian artis, paling-paling reality show Indonesia hanya menyediakan ajang pencarian bakat seperti “Indonesian Idol” dan “Master Chef”, atau acara kuliner dengan review yang dangkal.
Bandingkan dengan Korea Selatan yang punya seabrek tema buat reality show dengan kemasan ciamik. Dengan begitu mereka tak hanya bergantung kepada nama besar para artis agar banyak penonton.
Saya ambil contoh dari stasiun SBS, ada program “Law of the Jungle” dengan premis bagaimana para artis bertahan hidup di alam liar. Ada juga “Little Forest” yang menggambarkan kisah lucu selebriti mengasuh anak-anak atau “Mom’s Diary” yang menayangkan pengamatan para ibu selebriti terhadap keseharian anak mereka.
Jarang kita temukan reality show Korea Selatan yang mengambil judul nama artis dan hanya menyoroti keseharian personal mereka. Alih-alih begitu, para produser memikirkan konsep matang-matang dan orisinal sehingga tontonan di sana tak monoton seperti di sini.
Bukan hanya reality show, negeri ginseng itu juga punya amunisi variety show yang asik. Kalau reality show menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, maka variety show atau acara ragam merupakan program hiburan yang terdiri dari berbagai pertunjukan dan biasanya dipandu oleh pembawa acara seperti “Benteng Takeshi”.
Saya merasa Indonesia sangat kekurangan acara ragam. Dulu masih mending, saya bisa menikmati program seperti “Kena Deh” yang dipandu Pandji Pragiwaksono, di mana ia yang dulu belum terkenal itu pura-pura bertanya lima pertanyaan ke orang asing. Setiap jawaban yang benar, bakal dapat hadiah Rp50 ribu.
Sekarang acara ragam nyaris punah di Indonesia, berbanding terbalik dengan Korea Selatan. Di sana kita masih bisa menyaksikan variety show yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, namanya “Running Man”. Program yang dipandu oleh Yoo Jae-suk itu pamornya bahkan sudah mendunia dan penggemarnya di mana-mana.
Selanjutnya dari segi drama, stasiun TV kita juga kalah telak. Ketika sinetron-sinetron Indonesia mentok-mentok hanya bisa dinikmati ibu-ibu rumah tangga, drama Korea mendobrak sekat-sekat usia. Ini bisa dianalisa dari beberapa faktor, tapi utamanya adalah keseriusan produksi dan sejarah panjang drama Korea sendiri.
Di sana, drama Korea digarap seperti menggarap film panjang–mereka mendedikasikan waktu dan biaya yang tak sedikit. Berbeda dengan sinetron Indonesia yang kebanyakan kejar tayang tanpa arah. Kualitas seperti apa yang diharapkan dari sinetron yang gambarnya diambil hari ini dan besok langsung tayang? Karena itu satu judul sinetron saja bisa sampai ribuan episode.
Sementara itu, jarang kita temukan drama Korea yang melebihi 20 episode. Mereka memproduksi drama yang sudah mereka ketahui ujungnya seperti apa. Dalam penulisan naskah, premisnya sudah jelas dan terarah.
Indonesia sebetulnya pernah punya sinetron berkualitas seperti itu, contohnya "Si Doel". Ceritanya bisa dinikmati dan aktingnya jempolan. Namun, sinetron sekarang tampak jelas sengaja diperpanjang dan alurnya dibikin-bikin baru, semata-mata agar penonton lama tidak berpaling. "Tukang Bubur Naik Haji" itu tokoh utama tukang buburnya mati di tengah-tengah, tapi sinetronnya terus tancap gas.
Selain masalah teknis, kemajuan drama Korea juga bisa dimaklumi karena sejarahnya yang sudah eksis sejak 1960-an. Sementara di sini, sinetron pertama berjudul "Losmen" baru tayang di TVRI tahun 1980-an. Mengejar ketertinggalan itu bukan hal yang mustahil, tetapi melihat sinetron makin ke sini makin merosot dan asal-asalan, kita patut suuzan kalau para pemilik televisi tak berminat memperbaiki kualitas tayangannya selama rating masih tinggi.
Sebelumnya pernah ada satu media yang mencoba bermain anti mainstream dan menyajikan banyak program berkualitas. Talkshow-nya dikonsep matang dengan pembawa acara mumpuni. Program situasi komedinya punya beragam tema yang asik seperti kehidupan pekerja kantoran dan problematika antar tetangga. Acara musiknya pakai sound system bagus tanpa penonton bayaran. Namanya NET TV. Namun, itu pun kini tinggal sejarah. Tanpa diikuti dengan upaya media-media lain untuk merombak tayangannya, tampil beda sendirian hanya akan ditertawakan sebagai badut.
Akhirnya para pemain lama itu–cepat atau lambat–bakal digilas layanan streaming online seperti Youtube dan Netflix. Sekarang saja sudah banyak artis yang hijrah ke Youtube dan mendirikan channel sendiri. Mereka tak lagi membutuhkan TV sebagai wadah berkarya. Tahun 2018, lembaga riset Zenith menyebut bahwa selisih waktu antara orang menonton TV dengan mengakses internet tiap hari adalah 13 menit. Dan jarak itu semakin tipis tiap tahunnya. Diperkirakan ke depannya TV bakal ditinggalkan.
Di sini saja para konglomerat media sudah kalang kabut menyalahkan layanan streaming. Bos MNC Group Hary Tanoe pernah menggugat ke MK agar layanan streaming dikontrol pemerintah–seperti TV konvensional. Alasannya lucu, agar konten-konten yang diproduksi berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Padahal selama ini, ekosistem media konvensional yang justru memperkeruh kualitas tontonan masyarakat. Belum lagi afiliasi konglomerat media dengan elite politik sering menjadikan layar kaca sebagai panggung kampanye terselubung.
Bagaimana masa depan TV Indonesia? Saya sih tidak berharap banyak dengan kualitas yang ada sekarang. Mana buktinya kualitas tayangan Indonesia kalah jauh dibanding Korea Selatan? Cek saja aplikasi streaming seperti VIU, apa pernah kita lihat ada program TV kita yang mampang di sana? Nihil.