Setahun Mengenang Tragedi Oktober: Dari Kanjuruhan ke Itaewon

| 26 Oct 2023 20:38
Setahun Mengenang Tragedi Oktober: Dari Kanjuruhan ke Itaewon
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Waktu berlalu bagi sebagian orang, sedangkan yang lain masih terjebak di masa lalu dan berusaha keluar. Oktober tahun ini orang-orang sibuk membicarakan pemilihan umum yang masih tahun depan. Padahal Oktober sebelumnya kita masih banyak berduka. Tahun lalu, kita membuka Oktober dengan Tragedi Kanjuruhan dan menutupnya dengan Tragedi Itaewon.

Sekarang sudah lewat setahun sejak dua peristiwa berdarah itu merenggut ratusan jiwa. Meski terpaut jarak yang jauh, dua tragedi yang sama-sama didoakan agar tak terulang lagi itu punya beberapa kesamaan: Jumlah korban yang fantastis; kematian akibat kerumunan; dan kelalaian pihak berwenang. Namun, setelah satu tahun, kita bisa saksikan masing-masing punya pendekatan berbeda dalam mengenang korban yang gugur.

Flashback Tragedi Itaewon dan Kanjuruhan

159 orang dari 15 negara tewas di Itaewon pada malam 29 Oktober 2022. Tiap tahunnya, permukiman di distrik Yongsan, Korea Selatan itu memang selalu dipadati ribuan orang untuk merayakan halloween. Namun, tak disangka-sangka tahun lalu pengunjungnya membeludak usai tiga tahun pandemi yang senyap.

Pukul 18.34 waktu setempat, seorang penjaga toko yang melihat kerumunan berlebihan menelepon polisi.

“Saya lihat kerumunan massa keluar dari pintu keluar 1 (Stasiun Itaewon), mereka tertawa dan pergi ke gang. Itu sangat menakutkan. Banyak orang terjebak di sana tak bisa bergerak!"

Menurut laporan BBC, total ada 11 panggilan masuk ke nomor hotline polisi malam itu, tetapi hanya empat panggilan yang dijawab. Sekitar empat jam setelah laporan pertama masuk, gang kecil dekat pintu keluar 1 Stasiun Itaewon tak terselamatkan lagi. Kerumunan massa tak terkendali. 

Gang sempit menurun di samping Hotel Hamilton yang menghubungkan antara Stasiun Itaewon dan World Food Street menjadi ladang kematian. Lebarnya hanya 4 meter dan terbentang sejauh 45 meter. Mulanya, sejumlah orang di ujung gang tanjakan terdorong hingga jatuh, dan lautan manusia kian menumpuk karena yang di belakang terus mendesak maju.

Petugas mengevakuasi korban yang berjatuhan di Itaewon, Sabtu (29/10). (Istimewa)

Seorang penyintas bercerita di forum online tentang malam kelam itu. Orang-orang berdatangan dari segala arah, tubuhnya tergencet hingga tak bisa maju atau mundur, dan sekilas matanya melihat pemuda berbando kelinci berteriak ke teman-temannya dari belakang. “Persetan! Dorong terus! Dorong!”

Mengutip keterangan dari The Korean Society of Safety, suasana gang sempit di Itaewon malam itu berada dalam kondisi kritis. 10 orang diperkirakan memadati ruang sebesar 1 meter persegi. Dengan jumlah segitu, mereka yang terdesak di tengah-tengah setara menahan bobot 20 orang dewasa.

“Kalau benar ada neraka, aku pikir inilah neraka itu,” kata sang penyintas.

Sebulan sebelumnya, para penonton laga Arema Malang vs Persebaya Surabaya lebih dulu menyaksikan “neraka” di Stadion Kanjuruhan. Korban-korban jatuh sama-sama karena berdesakan. Bedanya, mereka yang di Kanjuruhan sampai harus berebut keluar stadion untuk melarikan diri dari gas air mata yang ditembakkan polisi.

Malam 1 Oktober 2022 awalnya menjadi derbi paling ditunggu di Liga 1 antara Arema dan Persebaya. Awalnya, panitia pelaksana sudah meminta penyelenggara memajukan jam kick off pada sore hari karena pertandingan dua rival itu selalu bertensi tinggi dan rawan risiko. Sayangnya, usul itu ditolak. Laga tetap berjalan pukul delapan malam dan berakhir dengan kekalahan tim tuan rumah. Ketakutan sebelumnya betulan terjadi.

Polisi menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan. (Antara)

Bima Andhika, seorang penonton di tribun VIP malam itu bercerita banyak penonton dari tribun menyerbu lapangan untuk membantu teman-temannya yang dipukul mundur pihak keamanan dengan anjing pelacak.

Aparat bertindak kelewatan dengan menembak gas air mata. Menurut versi kepolisian, tujuh tembakan dilepaskan ke tribun selatan, sekali ke tribun utara, dan tiga tembakan ke arah lapangan.

Penonton yang kemudian berusaha untuk keluar–terutama di pintu 3, 10, 11, 12, 13, dan 14–mengalami kendala karena pintu terbuka hanya selebar 1,5 meter. Akibatnya, arus keluar tersumbat nyaris 20 menit. Banyak korban akhirnya mengalami patah tulang hingga trauma kepala dan leher.

"Sebagian besar yang meninggal dunia mengalami asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang," kata Kapolri Listyo Sigit dalam jumpa pers lima hari sesudahnya.

Aksi suporter masuk ke lapangan. (Antara)

Total sebanyak 135 orang tewas, sebagian anak-anak. Itu menjadi tragedi sepak bola terburuk kedua sepanjang sejarah dan sontak menjadi sorotan media lokal hingga asing. Clifford Stott, profesor di Keele University yang mempelajari pengaturan fan olahraga menyatakan: Tragedi di Kanjuruhan terjadi akibat tindakan polisi dan manajemen stadion yang buruk.

Setahun setelah Tragedi Itaewon

Sehari pasca Tragedi Itaewon, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-Yeol mengumumkan masa berkabung nasional dan memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di gedung-gedung pemerintahan dan kantor-kantor publik.

Kepolisian Korea Selatan segera membentuk tim investigasi khusus. Setelah 74 hari penyelidikan, polisi menyimpulkan Tragedi Itaewon terjadi karena kegagalan pihak berwenang melakukan tindakan pencegahan dan merespons situasi darurat, termasuk kepolisian setempat.

23 pejabat pemerintah dituntut atas kelalaian profesional dan tuduhan lainnya, di antaranya Kepala Kantor Lingkungan Yongsan Park Hee-young dan mantan Kepala Kantor Polisi Yongsan Lee Im-jae. 

Empat polisi lain juga dituntut dengan penahanan, termasuk mantan pejabat Badan Kepolisian Metropolitan Seoul (SMPA) yang didakwa atas tuduhan menghapus laporan internal yang memperingatkan kemungkinan kecelakaan di Itaewon.

Salah satu sudut dinding untuk mengenang Tragedi Itaewon. (Istimewa)

Selain itu, Majelis Nasional Korea memakzulkan Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Lee Sang-min dan mendesaknya bertanggung jawab. Walaupun pada Juli 2023, pengadilan menolak pemakzulan tersebut.

Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melindungi hak-hak keluarga korban dan mencegah kecelakaan serupa diajukan di parlemen. Oleh partai oposisi, RUU tersebut dikebut dan masuk sebagai RUU jalur cepat. Namun, hingga kini belum juga disahkan.

Tahun ini, mengutip News Naver, pesta halloween tetap dibuka di Itaewon, tetapi dengan keamanan yang diperketat. 3.000 gabungan personil dari kepolisian, pemadam kebakaran, paramedis, dan militer dikerahkan mulai tanggal 27 hingga 31 Oktober untuk mencegah tragedi seperti tahun lalu. Asosiasi Pariwisata Khusus Itaewon juga membentuk kelompok darurat dan akan menjaga saluran komunikasi.

Kini, jika kita menyusuri gang maut Itaewon di samping Hotel Hamilton, kita akan menemukan tiga dinding untuk mengenang para korban di ujung jalan. Dinding-dinding itu penuh dengan tempelan kertas berisi ungkapan duka dari mereka yang ditinggalkan, sehingga semua orang yang melewatinya takkan lupa sejarah kelam tahun lalu.

Setahun setelah Tragedi Kanjuruhan

Lain Itaewon, lain Kanjuruhan. Jika di sana polisi mengakui ikut bertanggung jawab atas kelalaian mereka, maka di sini polisi tampak lepas tangan. Padahal, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyimpulkan bahwa aparat keamanan melakukan tindakan berlebihan dengan menyediakan gas air mata dan menembakkannya ke arah penonton yang diduga di luar komando. 

Kepolisian menetapkan enam orang tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan, yaitu Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris; Security Officer Suko Sutrisno; Kompol Wahyu Setyo Pranoto; AKP Bambang Sidik Achmadi; dan AKP Hasdarmawan. Dua dinyatakan bebas dan tiga dijatuhi hukuman ringan.

Pengadilan hanya menjatuhkan hukuman paling lama satu tahun enam bulan penjara dari kelima terdakwa. Sementara dua polisi divonis bebas, yaitu AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto. 

Hingga saat ini, belum ada lagi penambahan tersangka baru dan Tragedi Kanjuruhan tampak menguap begitu saja. Pemerintah alih-alih mewadahi keinginan para keluarga korban agar Stadion Kanjuruhan dijadikan monumen, justru berencana merobohkan dan membangunnya ulang.

Potret Stadion Kanjuruhan sebelum dirobohkan. (Istimewa)

Penolakan renovasi oleh sebagian keluarga korban disampaikan kepada DPRD Kabupaten Malang bulan Juli lalu, didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang. Dalam audiensi yang dihadiri Aremania, Kepolisian Resor Malang, dan perangkat pemerintah, keluarga korban mengungkapkan unek-unek mereka.

“Sebelum tragedi dituntaskan, yang merenggut nyawa, stadion itu merupakan bukti dari tragedi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” ucap Bambang Rismono, salah satu orang tua korban Tragedi Kanjuruhan.

Sayangnya, hingga awal Oktober kemarin, renovasi Stadion Kanjuruhan terus berlanjut. Area sekitar stadion sudah disterilkan dan gerbang stadion dijaga ketat petugas. Di pintu masuk, terpampang tulisan “Tamu Harap Lapor”. Di beberapa sudut juga tertancap plang “Area Steril”.

Tragedi berlalu, bola kembali bergulir, keluarga korban masih menuntut keadilan, dan para penguasa sedang sibuk mengurus pemilihan tahun depan.

Rekomendasi