ERA.id - Apa yang bisa dilakukan komedi bagi kehidupan manusia? Mungkin itu tak bisa menghentikan perang, tetapi bagi filsuf Prancis Foucault, komedi mampu mengungkap masalah yang sebenarnya untuk kita selesaikan. Ia tak menawarkan solusi, tapi setidaknya ia menunjukkan jalan mana yang berlubang. Begitulah peran komedi hadir di tengah masyarakat, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam sejarahnya, banyak pelawak Indonesia menyuarakan keluh-kesah masyarakat kelas bawah yang sering kali hanya tandas di warung kopi. Dulu kita mengenal seniman ludruk Surabaya, Cak Durasim yang getol menyentil penjajah Jepang di panggung-panggung hingga berakhir di penjara.
"Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah soro,” lantunnya ketika manggung suatu hari. Kidung itu kira-kira berarti 'bekupon sangkar burung dara, ikut Jepang tambah sengsara'.
Seorang pelawak Srimulat, Jojon dengan kumis khas Chaplin-nya juga pernah ditegur penguasa waktu mengolok-olok Soeharto lewat lawakan uang rupiahnya.
"Kalau di uang Rp500 itu gambar monyet, kalau di Rp50 ribu itu bapaknya monyet," begitu Jojon melempar lawakannya di TVRI medio 90-an. Sementara uang kertas Rp50 ribu waktu itu berhiaskan wajah tersenyum Soeharto yang mendaku diri sebagai Bapak Pembangunan.
Tak jauh dari masa jaya Srimulat, grup lawak Warkop DKI juga pernah berurusan dengan rezim Orde Baru. Film mereka yang berjudul "Maju Kena Mundur Kena" bahkan sempat dilarang tayang sementara oleh pemerintah.
Selain karena konon jumlah penontonnya menyaingi film propaganda "G30S/PKI", Warkop DKI juga terkenal menyuarakan kritik sosial mereka dalam format komedi sejak masih siaran radio di Prambors. Mereka dengan entengnya membanyol soal militerisasi kampus hingga program keluarga berencana besutan Soeharto.
Hari ini, baik Srimulat maupun Warkop DKI sudah bubar, kebanyakan personelnya sudah mangkat, tetapi komedi terus berlanjut. Suara-suara kritis pelawak sekarang banyak diwariskan kepada para komika alias pelawak tunggal lewat seni stand up comedy. Dan seperti yang sudah-sudah, menunjuk hidung penguasa bukan perkara mudah.
Ketika komedi ditanggapi serius
Stand up comedy tergolong terlambat dikenal di Indonesia. Meski format melawak tunggal di atas panggung sudah ada sejak lama seperti yang pernah ditampilkan Kasino, istilah stand up comedy sendiri baru mulai marak tahun 2011 setelah dilombakan di stasiun TV swasta.
Kini budaya stand up comedy mulai menjamur, komunitasnya tersebar di seluruh Indonesia dengan ribuan anggota. Beberapa nama besar naik ke permukaan; sebagian masuk ke industri, sebagian lagi membangun pasarnya sendiri. Namun, di mana pun mereka berpijak, selalu ada komika yang meneruskan tradisi mengkritik penguasa.
Salah satunya Kiky Saputri. Finalis Stand Up Comedy Academy musim keempat ini makin moncer namanya sejak me-roasting para menteri Jokowi empat tahun silam. Roasting sendiri merupakan budaya komedi Amerika dari tahun 50-an, di mana seorang pelawak mengolok-olok seseorang secara langsung atas persetujuannya.
Waktu itu Kiky me-roasting beberapa menteri, di antaranya Rudiantara yang menjabat Menkominfo dan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Kepada penonton ia bilang harus menyalahkan Rudiantara kalau kuota internet cepat habis, sementara untuk Bu Susi ia berkomentar kalau Pak Jokowi memang butuh “orang gila” untuk melakukan terobosan.
Kemarin pamor Kiky kembali panas usai me-roasting capres Ganjar Pranowo, lantaran ia mengeluhkan banyak penyuntingan sebelum tayang di TV. Padahal, ia mengaku sudah mematuhi permintaan dari pihak tamu untuk menghindari isu tertentu. Bola bergulir liar di media sosial hingga akhirnya Kiky dirundung ramai-ramai oleh akun anonim.
Bentukan kayak kodok bantet; boncel kurcaci; cebol; begitulah bunyi suara-suara sumbang yang mengolok-olok fisik Kiky.
Itu hanya satu contoh risiko yang harus dihadapi para pelawak ketika menyelipkan pesan dalam komedi mereka. Dan Kiky bukan yang pertama dan satu-satunya. Saya masih ingat Bintang Emon juga pernah dilaporkan ke polisi gara-gara konten satirenya tentang kasus penyiraman air keras mantan penyidik KPK Novel Baswedan. Ia bahkan dituduh memakai narkoba.
Ada juga komika Bogor, Jui Purwoto yang mengaku pernah dapat teguran dari Luhut Binsar Pandjaitan usai mengkritik reshuffle kabinet Jokowi dalam materinya. Jui waktu itu membandingkan Jokowi dengan dosen pembimbing yang suka memberi revisi. Kelar manggung, ia dipanggil Luhut–yang kebetulan ikut menonton.
“Bagus, materi kamu bagus," tutur Jui menirukan kata Luhut. “Tapi hati-hati, ya, jangan sekali-sekali lagi kaya gitu.”
Kisah-kisah tadi hanya sebagian kasus yang saya dengar di permukaan. Sementara yang mengendap jadi kasak-kusuk di tongkrongan saya yakin lebih banyak lagi. Sebagaimana saya juga yakin, sebanyak apa pun ancaman yang datang, komedi akan selalu menemukan jalannya untuk mengetuk pintu istana penguasa.
Belajar dari badut istana
Melihat masih banyak pejabat yang alergi dengan komedi satire yang menggigit tengkuk mereka, agaknya mereka harus lebih banyak belajar lagi dari kearifan tempo dulu. Pernah pada suatu masa, alih-alih melarang komedi, para raja justru merekrut court jester alias badut istana untuk menghibur mereka–seringkali dengan mengolok-olok.
Dalam sejarah Eropa, badut istana diberi kebebasan berkomedi. Ketika nyaris semua orang yang menghina bangsawan dihukum pancung, badut istana malah diberi hak untuk mengolok-olok mereka–bahkan terkadang raja. Syaratnya hanya satu: Lucu. Karena tanpa itu, jatuhnya hanya sekadar menghina.
Salah satu badut istana favorit saya adalah Triboulet. Itu nama panggung yang dipakai Nicolas Ferrial yang lahir di Prancis pada 1479. Meski dianggap orang idiot, lelucon-leluconnya justru sukses menggambarkan kemunafikan, keserakahan, hingga kepengecutan penguasa kala itu.
Suatu ketika, seorang bangsawan yang diejeknya merasa lawakan Triboulet kelewatan dan mengancam akan menggantung lehernya. Triboulet yang dekat dengan istana melapor kepada Raja Francis I. Raja lantas meyakinkan badut istana kesayangannya bahwa seandainya ia betulan dibunuh, bangsawan itu bakal dipenggal tak lebih dari 15 menit setelahnya.
Mendengar jawaban murah hati raja, Triboulet malah menyahut, “Kalau kepalanya dipenggal 15 menit sebelumnya, mungkin tidak?”
Di kemudian hari, saat sedang menghibur raja di hadapan para bangsawan istana, Triboulet kelepasan menepuk bokong sang raja. Di tengah gelak tawa hadirin, raja mengancam akan menggantung Triboulet karena sikap kurang ajarnya, kecuali jika sang badut bisa menyampaikan permohonan maaf yang lebih kurang ajar lagi.
Tanpa banyak pikir, Triboulet langsung menyergah, “Saya mohon maaf Yang Mulia karena tak mengenali Anda. Tadi saya pikir Anda adalah Ratu.”
Raja puas dengan jawaban jenaka Triboulet, tapi tidak dengan istrinya. Sang Ratu yang merasa terhina gantian menjatuhinya hukuman mati. Namun, raja dengan murah hatinya memberi pilihan kepada badut istana itu untuk memilih cara kematiannya.
“Kalau begitu Yang Mulia,” ucap Triboulet. “Demi Santo Nitouche dan Santo Pansard, pelindung kegilaan, saya memilih mati karena usia tua.”
Raja kehabisan kata-kata dan mengabulkan permintaan Triboulet sesuai janjinya. Sang badut istana akhirnya mati pada usia 57 tahun.
Hari ini, tak ada lagi yang namanya badut istana. Namun, komedi terus berlanjut. Karena tertawa sudah jadi kebutuhan dan sulit membayangkan komedi akan mati, mengapa kita tidak menerimanya dengan lapang dada? Para penguasa bisa belajar dari Raja Francis I yang siap ditepuk bokongnya, sementara para pelawak bisa belajar dari Triboulet yang berani menepuk bokong raja–tentu setelah menyiapkan permintaan maaf yang lucu.