Anwar Usman dan Tren Pejabat Berlindung di Balik Skenario Tuhan

| 09 Nov 2023 20:20
Anwar Usman dan Tren Pejabat Berlindung di Balik Skenario Tuhan
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Gonjang-ganjing putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berakhir dengan dicopotnya Anwar Usman dari Ketua MK. Ia dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat, tetapi adik ipar Presiden Joko Widodo itu merasa tak bersalah dan difitnah.

Selasa kemarin (7/11/2023), Majelis Kehormatan MK (MKMK) membacakan putusan kasus dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK. Di antaranya, MKMK menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat dan diberhentikan dari jabatannya.

"Hakim terlapor (Anwar Usman) terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa.

Anwar Usman dilaporkan sejumlah pihak karena dianggap melanggar kode etik atas putusannya terhadap Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres dan cawapres.

Sebelumnya, salah satu syarat capres dan cawapres dalam Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) adalah berusia minimal 40 tahun. Namun, putusan MK memberikan keterangan tambahan dan memungkinkan kepala daerah yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri. 

Putusan tersebut diduga untuk memuluskan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan Anwar Usman untuk maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Anwar Usman berlindung di balik skenario Allah

Meskipun dinyatakan telah melakukan pelanggaran berat, Anwar tidak diberhentikan sebagai hakim. Padahal, menurut UU MK, sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana disampaikan Hakim MKMK Bintan R Saragih dalam dissenting opinion-nya.

"Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK," kata Bintan di Gedung MK, Selasa.

Oleh sebab itu, beberapa pihak menghimbau Anwar untuk mengundurkan diri, termasuk bacawapres dari Koalisi Perubahan, Muhaimin Iskandar.

“Kalau Pak Anwar mengundurkan diri itu wise, tapi secara aturan tidak mewajibkan," komentar Muhaimin di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2023).

Mantan Ketua MK, Anwar Usman. (ANTARA)

Menanggapi tuntutan untuk mengundurkan diri dari MK, Anwar justru menggelar konferensi pers dan menegaskan bahwa ia pantang mundur. 

“Saat ini, harkat, derajat, martabat saya sebagai hakim karir selama hampir 40 tahun, dilumatkan oleh fitnah yang keji," kata Anwar di Gedung MK, Rabu. "Saya tidak pernah berkecil hati dan pantang mundur dalam menegakkan hukum dan keadilan di negara tercinta."

Bukan hanya itu, Anwar juga mendoakan pihak-pihak yang memelesetkan nama MK menjadi Mahkamah Keluarga agar diberikan ampunan oleh Allah. 

"Saya tetap yakin, bahwa sebaik-baik skenario manusia untuk membunuh karakter saya, karir saya, harkat dan derajat serta martabat saya dan keluarga saya, tentu tidak akan lebih baik dan indah dibandingkan skenario Allah, Tuhan Yang Maha Esa," ungkapnya.

Sebelum diberhentikan dari Ketua MK dan dilarang menangani perkara-perkara terkait sengketa pemilu, Anwar sudah sering menyebut nama Allah saat membela diri. Misalnya, waktu ditanya terkait dugaan konflik kepentingan selaku Ketua MK sekaligus ipar presiden, ia menjawab bahwa “jabatan hanya milik Allah”.

Anwar bukan satu-satunya pejabat yang berlindung di balik dalih “skenario Tuhan”. Jika melihat ke belakang, takdir kerap dijadikan kambing hitam oleh pejabat dan politikus yang tersandung kasus.

Menurut sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Dr. Tantan Hermansyah, hal tersebut tak bisa dilepaskan dari sifat agama yang sejak dulu punya potensi paling signifikan untuk mempengaruhi perilaku dan persepsi masyarakat.

Berikut ini kami rangkum beberapa contoh para pejabat yang membawa-bawa nama Tuhan saat terjerat kasus hukum:

Anas Urbaningrum dan skenario Tuhan

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Februari 2013, diawali keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mengungkap aliran uang proyek Hambalang. 

Nazar mengatakan Anas menerima sejumlah uang dari proyek tersebut untuk pemenangannya sebagai ketua umum Partai Demokrat dalam kongres di Bandung pada Mei 2010.

Eks Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, selepas bebas dari Lapas Sukamiskin, Selasa (11/4/2023). (Istimewa)

Anas dinyatakan bersalah dan terbukti menerima uang proyek Hambalang senilai Rp20 miliar dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ia menerima vonis delapan tahun penjara pada akhir September 2014. 

Setelah banding, hukumannya dipotong menjadi tujuh tahun penjara. KPK lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di sana, almarhum Artidjo Alkostar dan hakim lain memperberat hukumannya menjadi 14 tahun penjara.

Ketika Artidjo pensiun pada 2018, Anas seakan melihat peluang dan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Benar saja, hukumannya dikurangi hingga tersisa delapan tahun dengan pidana tambahan pencabutan hak politik selama lima tahun usai menjalani pidana pokok. 

April lalu, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) itu bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin dengan status cuti menjelang bebas (CMB) setelah mendekam selama sembilan tahun tiga bulan di penjara. Keluar dari sana, ia disambut bak pahlawan oleh para sahabat dan loyalisnya dari HMI. 

"Saya juga mohon maaf kalau ada yang menyusun skenario besar bahwa dengan saya dimasukkan dalam waktu yang lama di tempat ini, menganggap bahwa Anas sudah selesai," ujarnya saat berpidato di hadapan ratusan simpatisan. Sehebat apa pun skenario manusia, menurutnya, takkan mampu mengalahkan skenario Tuhan.

"Skenario boleh besar, tapi sekuat apa pun serinci apapun skenario manusia tidak akan mampu mengalahkan skenario Tuhan," tegas dia

Suap Mantan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan dan rekayasa Allah

Mantan Wakil Ketua DPR RI, mendiang Taufik Kurniawan yang terlibat kasus suap Dana Alokasi Khusus juga pernah menyinggung soal “rekayasa Allah” saat ditahan KPK. Waktu itu, sebelum masuk ke mobil tahanan KPK pada bulan November 2018, ia berkata, “Secanggih-canggihnya rekayasa manusia, rekayasa milik Allah yang paling sempurna.”

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu diputuskan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Semarang pada tahun 2019 karena menerima suap DAK Kabupaten Kebumen dan Purbalingga, Jawa Tengah

Hakim menyatakan Taufik terbukti menerima suap sebesar Rp4,85 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Uang tersebut diberikan oleh mantan Bupati Kebumen Yahya Fuad dan mantan Bupati Purbalingga Tasdi lewat perantara orang suruhan.

Imam Nahrawi dan takdir Allah Yang Maha Baik

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ditangkap KPK setelah tersandung kasus suap dan hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pada 2019 silam.

Awalnya, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan KONI pada Desember 2018. Selang setahun berikutnya, nama Imam baru ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar dari KONI.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Jumat, (27/9/2019). ANTARA (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww/pri)

Juru bicara KPK saat itu, Febri Diansyah, mengatakan pihaknya menduga Imam menerima suap dan gratifikasi terkait anggaran bantuan KONI untuk persiapan Asian Games 2018.

Suap diberikan lewat asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini, dan diterima Imam secara bertahap. Sebelum penetapan tersangka, tiga kali Imam dipanggil KPK untuk klarifikasi, tiga kali juga ia mangkir dan membantah tuduhan mereka.

Sewaktu meninggalkan Gedung Merah Putih KPK dengan rompi oranye, mantan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyampaikan bahwa semua yang terjadi adalah takdir.

“Sebagai warga negara tentu saya harus mengikuti proses hukum yang ada dan saya yakin hari ini takdir saya, dan setiap manusia akan menghadapi takdirnya," ujarnya, Jumat (27/9/2019).

Ia merasa yakin penahanannya merupakan rencana Tuhan yang tidak akan salah.

"Demi Allah, Allah itu Maha Baik dan takdir-Nya tak pernah salah. Karenanya, doakan saya mengikuti proses hukum yang sedang saya jalani ini," lanjutnya sambil memegang kertas bertuliskan “ALLAH MAHA BAIK”. Tak lupa ia juga melantunkan selawat seiring langkahnya menuju mobil tahanan.

Di persidangan, Imam didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,64 miliar terkait percepatan pencairan dana hibah KONI. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat lalu memvonisnya tujuh tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan.

Hingga akhir, politikus PKB itu tetap menampik bahwa ia menerima dan menikmati uang tersebut. "Saya demi Allah saya enggak menerima Rp11,5 miliar," ujarnya saat diberi kesempatan menanggapi putusan hakim.

Tuhan dan pelarian pejabat

"Dalam teori sosiologi yang cukup lama, dikemukakan bahwa agama sampai hari ini tetap memiliki potensi paling signifikan dalam mempengaruhi keyakinan serta perilaku dan persepsi masyarakat," ucap Dr. Tantan Hermansyah, sosiolog dari UIN Jakarta saat dihubungi ERA, Kamis (9/11/2023).

Dari sana ia menyimpulkan bahwa banyak pejabat meminjam nama Tuhan sebagai "pelarian" mereka.

"Jadi mereka melakukan excuse dengan menyebut atau menggunakan atau memanfaatkan hal-hal yang terkait dengan agama, dalam hal ini yang paling sering disebut adalah nama Tuhannya atau nabinya," ucapnya 

Mengapa demikian? Karena dengan begitu mereka bisa berlindung dari hujatan masyarakat atas kesalahan yang dilekatkan kepada mereka, lanjut Tantan.

"Di Indonesia, persoalan pelarian terhadap hal-hal yang berbau agama kerap dilakukan minimal untuk mengamankan dirinya dari hujatan publik, sehingga dia akan berlindung pada kekuasaan yang tak terlihat, dalam hal ini adalah kuasa agama atau kuasa Tuhan," ucapnya.

Dengan berlindung di balik kuasa agama, orang-orang yang bersalah itu merasa bisa mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka.

"Hal ini dikarenakan pembenaran menggunakan hal-hal yang sifatnya susah dibuktikan itu akan mempermudah dia untuk 'mengelabui' masyarakat," lanjut Tantan.

Celakanya lagi, menurutnya, visualisasi mereka yang sudah jelas bersalah atau sedang menjalani proses hukum sering kali ditampilkan dengan visual yang agamis.

"Kita masih ingat ada seorang jaksa perempuan yang kemudian begitu tampil di persidangan bukan hanya berjilbab besar, bahkan bercadar. Padahal kita tahu sehari-harinya dia tidak mengenakan kerudung," tuturnya.

Banyak orang akhirnya bergantung kepada pelarian kepada hal-hal gaib karena hanya di ruang itu mereka bisa berlindung dari hal-hal yang kasat mata seperti hujatan masyarakat.

"Sebetulnya itu semua hanya upaya untuk menutupi tindakan salah yang sudah jelas terbukti di mata hukum, seperti yang dilakukan oleh Anwar Usman yang sudah jelas menurut MKMK dia melakukan kesalahan berat," tutup Tantan.

Rekomendasi