ERA.id - Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, resmi maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto. Meskipun pengalaman politiknya “baru” hitungan tahun sebagai kepala daerah tingkat kota, ia digadang-gadang sebagai perwakilan anak muda potensial. Namun, sayangnya, gaya komunikasi Gibran cenderung meniru guru politiknya, Sang Bapak, yang usianya tak lagi muda.
Jokowi—seperti sama-sama kita tahu—bukan orator ulung macam Sukarno atau pencerita handal macam Gus Dur. Ia cenderung irit bicara. Dan sebagai politikus, ia menyulap kelemahannya itu menjadi nilai jual buat masyarakat: Pemimpin yang sedikit bicara, banyak bekerja. Hal itu terpatri dalam nama kabinet pertamanya, Kabinet Kerja, dengan slogannya “Kerja Kerja Kerja”.
Apel jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah Gibran. Sebagai putra Jokowi, ia mewarisi perawakan hingga cara bicaranya. Dan belakangan, tampak jelas ia juga meniru gaya komunikasi publik Jokowi. Dalam forum Diskusi Ekonomi Kreatif Bersama Mas Gibran, ia mengakui dirinya bukan tipe orator dan lebih banyak mendengar.
“Saya juga model orang yang enggak suka orasi, yel-yel, pilih nomor ini, pilih nomor itu, enggak. Kita pilih jadi pendengar aja, kalian kasih masukan, kita pokoknya santai aja,” ujarnya.
Di lain kesempatan, ketika ditanya wartawan mengapa ia irit bicara? Gibran menanggapi tak kalah irit, "Ya memang seperti itu… silakan warga yang menilai."
Sebagai seorang warga biasa, saya menilai gaya komunikasi macam itu bukan hanya akan menjatuhkan reputasi Gibran, pun membungkam kesempatan warga untuk menilai kapasitas calon pemimpinnya. Dan jelas akan jauh dari harapan Jokowi akan sebuah situasi politik yang penuh pertarungan gagasan.
Beberapa tanggapan Gibran kepada pertanyaan warga terkesan abai dan tak menjawab pokok persoalan. Tentu saja itu amat disayangkan mengingat pasangan Prabowo-Gibran sudah mengeluarkan visi, misi, dan program kerja mereka dengan tema “Menyongsong Indonesia Maju 2024”. Apa saja?
Ketika milenial menyoal lapangan kerja
Dalam salah satu video yang ramai beredar di media sosial, seorang alumni S2 bertanya kepada Gibran soal kesulitan mencari kerja bagi milenial. “Saya merasa bahwa lapangan pekerjaan sekarang itu sangat sulit digapai karena banyaknya permainan orang dalam. Apa solusi terbaik dari Mas Gibran?” ujarnya.
“Jadi pengusaha,” jawab Gibran singkat. “S2 masa enggak berani jadi pengusaha, ya?”
Ketika ditanya solusi masalah lapangan pekerjaan, Gibran menjawab agar penanya menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri. Pertanyaannya, jika semudah itu membuka usaha, mengapa masih banyak orang menganggur? Lalu, jika semua menjadi pengusaha, siapa yang menjadi pekerjanya?
Kalau kita menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio jumlah pengusaha di Indonesia memang masih kecil, hanya 3,47 persen atau sekitar 9 juta orang dari total masyarakat. Jauh di bawah Singapura yang mencapai angka 8,5 persen.
Adapun angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2023 terdiri dari 139,85 juta orang pekerja dan 7,86 juta pengangguran—mayoritas didominasi generasi Z. Apakah Gibran akan menyarankan hal yang sama kepada seluruh pengangguran itu, agar mereka jadi pengusaha saja daripada susah-susah mencari kerja?
Padahal, dalam Asta Cita atau 8 Misi Prabowo-Gibran jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, salah satunya berisi “meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur”.
Beberapa upayanya antara lain: Mendorong perusahaan menempatkan angkatan kerja berusia 18-24 tahun sebagai karyawan tetap; memperketat masuknya tenaga kerja asing; pemberian insentif kepada UMKM; melakukan pendampingan bagi wirausaha pemula; hingga meluncurkan Kartu Usaha Startup.
Sayang sekali kita tidak mendengar itu dari jawaban Gibran sebelumnya. Alih-alih menjelaskan sekilas gagasannya terkait lapangan pekerjaan, ia lebih memilih meringkas persoalan dengan menyuruh kita menjadi pengusaha seperti dirinya.
Ketika ibu-ibu menyoal harga bahan pokok mahal
Gibran sudah memulai blusukan ke beberapa tempat mendengar aspirasi warga. Minggu (3/12/2023) kemarin, ia berkunjung ke Pasar Rawasari di Jakarta Pusat dan mendengar keluhan ibu-ibu di pasar tentang harga bahan pokok yang makin mahal. Harga cabai bahkan meroket hingga Rp90 ribu per kilogram dari yang biasanya Rp40 ribu.
Di tengah aksi blusukannya, seorang ibu-ibu bertanya, “Bagaimana cara Mas Gibran untuk menstabilkan harga?”
Ditembak begitu, Gibran hanya menjawab, "Akhir tahun kan harganya emang lagi naik semua, tapi insya Allah awal tahun sudah stabil ya."
Saya maklum mungkin momennya tidak pas untuk menjabarkan panjang lebar soal strategi ekonominya jika ia terpilih nanti, tetapi apakah tidak ada jawaban yang lebih diplomatis dan berisi lagi? Misalkan meminimalisir empat hal yang mempengaruhi harga pasar, mulai dari situasi harga di luar negeri terkait komoditas impor, kondisi iklim, distribusi, hingga faktor spekulasi.
Jawaban itu bisa ditambahi dengan program kerja yang tercantum dalam dokumen visi-misinya, seperti: Menjamin ketersediaan pangan pokok yang berkelanjutan melalui BUMN holding pangan ID Food; memperkuat tata kelola impor pangan pokok; hingga memperkuat peran dan fungsi Badan Pangan Nasional (BAPANAS) dan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Wajar kalau jawaban seadanya dari Gibran tadi berbalik ke mukanya sendiri dan dimanfaatkan calon lain. Misalnya Muhaimin Iskandar, cawapres pendamping Anies Baswedan saat kunjungannya ke Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, Senin (4/12/2023) kemarin menyinggung bahwa harga naik itu bukan hal biasa dan harus diantisipasi.
Kenaikan harga, menurutnya, bisa ditekan dengan menerapkan strategi tiap tiga bulan dengan memastikan stok bahan pangan dari petani tercukupi dan memastikan produknya menemukan pembeli.
"Karena itu dari produksi, distribusi sampai kepada konsumen itu harus dijaga dengan betul stabil oleh pemerintah," ujar Muhaimin.
Plus minus gaya komunikasi ala Gibran
Pakar komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin sepakat kalau gaya komunikasi Gibran mirip Jokowi. "Bisa jadi memang hal ini termasuk ilmu yang diturunkan," ujarnya kepada ERA, Selasa (5/12/2023).
Pola yang dipakai kurang lebih menggunakan kalimat yang bersifat umum dan menghindari detail. Alasannya supaya memberikan fleksibilitas kepada pembicara untuk menghindari kontroversi atau konfrontasi langsung dan mengantisipasi perubahan kondisi dan tuntutan politik.
"Dan pada saat yang sama memungkinkan mereka untuk membentuk narasi yang lebih luas," lanjut Alvin.
Namun, apakah gaya komunikasi seperti itu efektif? Menurut Alvin harus dilihat kembali kepada tipikal masyarakat Indonesia yang cenderung high context, ketika kepemimpinan melibatkan penanganan berbagai masalah yang kompleks. Maka dari itu, komunikasi politik harusnya situasional dan tak bergantung kepada satu strategi komunikasi.
"Ada kalanya sebuah pertanyaan harus dijawab atau direspon dengan tegas. Beberapa orang mungkin menghargai bila ada pemimpin yang kurang merespon terhadap isu-isu tertentu, sementara yang lain mungkin menganggapnya sebagai upaya mengelak atau tidak memberikan jawaban yang memuaskan," jelas Alvin.
Ia menambahkan bahwa gaya komunikasi yang kurang gamblang dapat menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan akuntabilitas.
"Bila dikaitkan dengan Pilpres, maka Pemilih mungkin mengharapkan pemimpin untuk memberikan jawaban yang lebih konkret terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat," lanjutnya.
Lalu mengapa Gibran konsisten menggunakan gaya komunikasi yang sama? Menurut Alvin, bisa jadi itu merupakan bagian dari strategi yang dipilih untuk memitigasi risiko atau membangun citra tertentu.
"Namun, kritis dan mencermati gagasan calon pemimpin tetaplah penting bagi masyarakat dalam menilai kecocokan mereka sebagai pemimpin. Wajar jika masyarakat meminta jawaban yang lebih rinci dan jelas untuk membentuk pemahaman yang lebih baik tentang pandangan dan rencana calon pemimpin tersebut," tandasnya.