Yang Hilang dari Debat Capres Pertama: Isu Perlindungan Pelapor Korupsi

| 13 Dec 2023 19:36
Yang Hilang dari Debat Capres Pertama: Isu Perlindungan Pelapor Korupsi
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Ketiga calon presiden (capres) 2024 merampungkan debat resmi pertama mereka semalam, Selasa (12/12/2023). Debat perdana itu digelar di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan tema hukum, hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi. Sepanjang durasi kurang lebih dua jam, banyak janji-janji keluar dan adu sindir terjadi antar calon, tetapi beberapa isu luput dibahas, salah satunya soal perlindungan pelapor (whistle blower) dan saksi korupsi.

Dalam pembahasan mengenai pemberantasan korupsi, panelis menanyakan terobosan masing-masing capres untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor dan menyelamatkan aset yang dikorupsi.

Calon nomor urut 1 Anies Baswedan menjelaskan empat hal yang akan dilakukan untuk memberantas korupsi. Pertama, pemiskinan koruptor dengan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Kedua, menguatkan kembali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan merevisi ulang UU KPK.

Ketiga, memberikan imbalan kepada pelapor kasus korupsi seperti tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Keempat, meningkatkan standar etik pimpinan KPK.

Sementara calon nomor urut 2 Prabowo Subianto akan memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Selain itu, ia juga akan memperkuat lembaga pengawasan seperti Ombudsman RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan inspektorat-inspektorat di kementerian.

Adapun calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo akan mengutamakan penegakan hukum yang tegas terkait pemiskinan koruptor, perampasan aset, hingga menyeret koruptor ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.  

Capres Anies Baswedan (kanan), capres Prabowo Subianto (tengah), dan capres Ganjar Pranowo (kiri) berpegangan tangan usai beradu gagasan dalam debat perdana Capres dan Cawapres 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU/aa.)

Dari ketiganya, hanya Anies yang menyinggung soal pelapor atau whistle blower. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga hanya fokus kepada isu pemberian imbalan yang sepadan bagi pelapor kasus korupsi. 

Salah satu janji kampanye pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang beredar bertajuk "Hadiah Pemburu Koruptor" dengan memberikan insentif yang adil untuk pelapor koruptor. 

Setidaknya ada dua poin yang diajukan Anies. Pertama, hadiah dipastikan berupa uang beserta Lencana Integritas, bukan sekadar piagam. Kedua, peningkatan jumlah hadiah bagi pelapor tanpa batas maksimal. Nominalnya bisa mencapai hingga miliaran rupiah.

Namun, gagasan seputar perlindungan pelapor sendiri masih jarang terdengar dari masing-masing calon. Hal tersebut menimbulkan keragu-raguan dari beberapa pihak seperti yang bisa dibaca di media sosial. 

Misalnya, akun @PNS_Ababil menyuarakan keskeptisannya terhadap gembar-gembor para calon soal pemberantasan korupsi, khususnya terkait mekanisme perlindungan untuk pelapor.

"Teorinya indah. Prakteknya, yang lapor malah kena jebakan. ASN banyak yang udah skeptis sama lapor2 gini," tulisnya di platform X pada Rabu (13/12/2023).

Pelapor kasus korupsi: Minim penghargaan banyak intimidasi

Peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi termaktub dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam Pasal 41 disebutkan bahwa masyarakat berhak mencari dan memberi informasi adanya dugaan korupsi kepada penegak hukum; menyampaikan saran dan pendapatnya; mendapat jawaban atas laporannya paling lama 30 hari; dan memperoleh perlindungan hukum.

Atas perannya tersebut, dalam Pasal 42 UU Pemberantasan Tipikor disebutkan bahwa "Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi".

Adapun penghargaan terhadap pelapor dirincikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018 berupa piagam atau premi sebesar 2 permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan. 

Pelapor dapat memperoleh premi paling banyak sebesar Rp200 juta. Sementara dalam kasus suap, pelapor dapat memperoleh premi paling banyak sebesar Rp10 juta dari nilai uang suap atau hasil lelang barang rampasan. Sayangnya, menurut laporan Kompas, hingga sekarang baru ada 2 pelapor yang mendapatkan hadiah premi, sedangkan puluhan sisanya hanya diganjar dengan piagam. 

Selain ketidakpastian akan memperoleh hadiah uang, pelapor koruptor masih harus menanggung risiko intimidasi dan ancaman. Hal tersebut pernah disampaikan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo.

“Pelapor dalam satu instansi atau lembaga sering kali mengalami pengucilan dari rekan-rekannya atau atasannya, mengalami mutasi ke tempat yang jauh, demosi, atau bahkan pemberhentian dari jabatannya,” ujar Hasto selepas acara penandatanganan perjanjian kerja sama pencegahan korupsi antara KPK dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta, Selasa (2/3/2021).

Bahkan, ia menambahkan, ada juga yang diberhentikan dari status karyawan karena melaporkan korupsi. Sementara sebagian lagi dikriminalisasi atas laporannya. Padahal, menurut LPSK, seorang saksi tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata ketika memberikan kesaksian.

”Ketika diproses pencemaran nama baik atau penghinaan, ditunggu sampai proses laporan selesai terlebih dahulu. Baru kalau ada tindak kejahatan yang dilakukan pelapor, diproses belakangan,” lanjutnya.

September tahun lalu, seorang saksi korupsi yang merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Semarang, Jawa Tengah (Jateng) bernama Iwan Budi Paulus ditemukan tewas setelah dilaporkan hilang. Jasadnya tergeletak di kawasan Pantai Marina, Semarang tanpa kepala dan tangan dengan kondisi terbakar.

Keluarga ASN Pemkot Semarang yang tewas dibunuh, Iwan Budi Paulus, mengunjungi lokasi penemuan jasad yang dibakar di kawasan Marina Semarang, Selasa (15/11/2022). (ANTARA/ I.C.Senjaya)

Iwan dilaporkan menghilang sehari sebelum diperiksa sebagai saksi di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng terkait dugaan korupsi pengalihan aset. Ia merupakan saksi kasus tindak pidana korupsi atas hibah delapan bidang tanah di Mijen, Semarang.

Kasus kematian Iwan diusut oleh kepolisian Semarang. Dalam proses penyidikan, ada dugaan keterlibatan anggota TNI. Namun, kepolisian belum menetapkan tersangka hingga hari ini. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng Kombes Pol Johanson Simamora menyatakan bahwa polisi masih mengusut kasus tersebut.

"Proses masih berjalan, pemeriksaan saksi juga dilakukan," ujarnya pada Rabu (23/9/2023), dikutip dari Antara.

Mengapa perlindungan pelapor belum maksimal?

Mantan juru bicara LPSK, Maharani Siti Sophia memaparkan beberapa alasan mengapa perlindungan pelapor terhambat dalam artikel “Hambatan dalam Perlindungan Hukum Bagi Whistle Blower”.

Pertama, belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistle blower. “Undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor, dan korban,” ujarnya.

Kalaupun ada, menurutnya, hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM, KPK, Kejaksaan, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Kedua, ketidaksepahaman aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistle blower. “Kesepakatan bersama hanya di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah,” ujarnya.

Ketiga, hakim masih sering mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status seseorang sebagai whistle blower.

Terakhir, peran LPSK yang masih terbatas kepada UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Misalnya, dalam kasus pelapor tindak pidana korupsi, kewenangan perlindungan saksi diberikan kepada KPK sebagaimana tertera dalam UU KPK.

Ketua LPSK Hasto Atmojo menyarankan agar perlindungan saksi dalam kasus korupsi dilakukan oleh LPSK untuk menghindari konflik kepentingan.

”Perlindungan kepada saksi dalam kasus korupsi sebaiknya dilakukan LPSK karena ini lebih menjamin terjadinya transparansi dan akuntabilitas agar saksi-saksi ini bukan di dalam perlindungan aparat penegak hukum yang sering kali terjadi konflik kepentingan,” ujarnya.

Rekomendasi