ERA.id - Dalam forum ibu hamil di Facebook, seorang ibu bercerita putrinya berusia 2 tahun baru lepas minum air susu ibu (ASI) dan kecanduan susu UHT cokelat. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari putrinya bisa menghabiskan hingga enam kotak. Di kolom komentar, ibu-ibu lain bercerita serupa. Bahkan ada yang anaknya sampai mual, muntah, dan mencret karena keseringan minum susu UHT. Berat badannya pun menurun.
“Sehabis minum UHT tidak mau makan,” ujar Yanti. “Sekarang dokter sarankan jangan kasih susu karena perut sensitif.”
Setelah berhenti minum susu, berat badan anaknya mulai naik. Yanti mengganti susu dengan jus buah tanpa gula dan menyarankan ibu-ibu lain agar tidak sering-sering membiarkan anaknya minum susu UHT. “Menangis tidak apa-apa, nanti lapar makannya lahap dan minum airnya pun banyak,” tambahnya.
Dokter spesialis anak, dr. Natharina Yolanda, SpA, dalam acara “Anak Berhak Minum Sehat” menjelaskan bahaya konsumsi gula berlebih sejak dini sangat erat kaitannya dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular (PTM).
“Konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman, berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti peningkatan berat badan, risiko terkena diabetes melitus tipe 2 dan tekanan darah tinggi, serta mempercepat mengalami masalah pikun dan penuaan dini,” ujarnya di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Sabtu (22/7/2023).
Kecanduan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) bukan hanya sering dialami anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Data Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan konsumsi MBDK di Indonesia meningkat 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Tak ayal, International Diabetes Federation (IDF) mencatat bahwa penderita diabetes di Indonesia terbesar kelima di dunia dengan jumlah mencapai 19,47 juta orang pada 2021. Jumlah itu meningkat pesat dalam sepuluh tahun terakhir dan diperkirakan akan naik hingga 28,57 juta orang pada 2045.
Sementara itu, penyebab kematian tertinggi di Indonesia didominasi oleh PTM, di mana diabetes menempati urutan ketiga menurut CISDI.
Jumlah kematian akibat diabetes di Indonesia mencapai 236.711 jiwa pada 2021, yang artinya 1 dari 82 orang penderita diabetes tak terselamatkan. Wajar jika kemudian penyakit diabetes disebut-sebut sebagai salah satu “silent killer” atau pembunuh senyap.
Tantangan menjaga konsumsi gula di tengah gempuran minuman manis
Ahli gizi di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kebayoran Baru, Farikhah Ismail menceritakan kekhawatirannya terhadap minuman manis yang marak beredar di pasar, utamanya produk untuk anak-anak seperti krimer yang sebelumnya sering disebut susu kental manis (SKM).
Menurut pengamatan di lingkungannya, masih banyak orang tua yang memilih memberikan anaknya SKM setelah berhenti menyusui. Pertimbangannya karena relatif lebih murah dibandingkan susu bubuk. Padahal, dalam sebungkus saset SKM angka gulanya bisa mencapai 20 gram.
“Konsumsi gula per harinya, menurut Pedoman Gizi Seimbang (PGS) hanyalah 4 sendok makan atau setara dengan 52 gram saja. Ini sudah termasuk dengan konsumsi gula dalam bentuk masakan,” ujarnya.
Dengan begitu, lanjutnya, minum dua saset SKM sehari saja akan menyebabkan seseorang menyimpan cadangan gula berlebih dalam tubuhnya dan berisiko obesitas hingga diabetes.
Sementara kandungan gula dalam sekotak susu UHT juga bervariasi, mulai dari 5, 6, 8, hingga 19 gram. Kandungan gula tertinggi sering ditemui dalam susu UHT berperisa seperti cokelat atau stroberi. Karena itu, Farikhah menyarankan agar kita mengurangi konsumsi MBDK, termasuk produk susu kemasan dengan kandungan gula tinggi untuk anak-anak.
Ia mengingatkan bahwa pedoman gizi hari ini bukan lagi “Empat Sehat Lima Sempurna” yang dipopulerkan semasa Orde Baru, tetapi Pedoman Gizi Seimbang yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 41 Tahun 2014.
Slogan “Empat Sehat Lima Sempurna” sendiri diperkenalkan Bapak Gizi Indonesia Prof. Poorwo Soedarmo. Ia mengadopsinya dari pedoman Basic Four Amerika Serikat pada tahun 1940-an atau menu makanan yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, dan susu.
Namun, slogan tersebut dianggap tak lagi sesuai dengan permasalahan gizi terbaru. Akhirnya Konferensi Pangan Sedunia di Roma, Italia pada 1992 mengeluarkan Prinsip Nutrition Guide for Balanced Diet. Di Indonesia, prinsip tersebut dikenal sebagai Pedoman Gizi Seimbang.
“4 sehat 5 sempurna sudah disempurnakan di tahun 1990-an menjadi Pedoman Gizi Seimbang. Karena tanpa susu pun, tak masalah, asalkan ada penggantinya semisal lauk pauk hewani lainnya (ikan, telur, ayam, dll),” ujar Farikhah.
“Jadi tak usah khawatir jika tak memberikan susu kepada si buah hati,” lanjutnya.
Produk seperti SKM sendiri hanya satu dari sekian MBDK yang beredar di pasar. Menurut laporan CISDI, jenis MBDK yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kopi instan, dengan rata-rata rumah tangga mengonsumsi 29 kemasan kopi instan per bulan, dilanjutkan susu cair, sari buah dan minuman berenergi, teh dan soda, lalu SKM.
Di samping itu, masyarakat juga dikepung berbagai produk minuman siap saji seperti kopi susu dan teh yang belakangan menjamur. Sayangnya, masih banyak usaha waralaba minuman siap saji yang belum menyertakan informasi kandungan gula kepada pelanggan.
Padahal, berdasarkan Permenkes No. 30 Tahun 2013, produsen pangan siap saji yang punya lebih dari 250 gerai wajib menyertakan informasi kandungan gula, garam, dan lemak untuk produknya. Mereka juga wajib memberikan pesan kesehatan melalui media informasi dan promosinya yang berbunyi:
Konsumsi Gula lebih dari 50 gram, Natrium lebih dari 2000 miligram, atau Lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.
Membatasi konsumsi gula berlebih dengan cukai
Beberapa negara di ASEAN seperti Thailand, Brunei, Filipina, dan Malaysia sudah mulai menerapkan cukai MBDK untuk mengendalikan konsumsi gula berlebihan, dimulai dari Thailand pada tahun 2017. Menurut laporan CISDI, penerapan cukai MBDK di Thailand dan Filipina cukup efektif menurunkan konsumsi MBDK sebesar 8,4% hingga 17,7%.
“Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebijakan ini efektif dalam mengatur tingkat konsumsi MBDK melalui penurunan pembelian MBDK yang secara bersamaan akan menurunkan konsumsi MBDK,” tulis riset berjudul Penerapan Cukai MBDK di Asia Tenggara: Pembelajaran untuk Indonesia.
“Sebuah studi kajian sistematik (systematic review) menunjukkan cukai MBDK sebesar 20% berpotensi mengurangi konsumsi MBDK sebesar 24%,” lanjutnya.
Ada beberapa alasan penerapan cukai MBDK di negara-negara ASEAN, antara lain:
Pertama, beban kesehatan yaitu semakin meningkatnya permasalahan kesehatan seperti obesitas dan PTM lainnya.
Kedua, upaya meningkatkan konsumsi yang lebih sehat di masyarakat.
Ketiga, biaya pengobatan PTM yang tinggi.
Di Indonesia, Wakil Presiden Ma’ruf Amin pernah mengatakan salah satu proporsi pembiayaan tertinggi dalam jaminan kesehatan nasional (JKN) adalah pembiayaan PTM yang mencapai Rp20,27 triliun menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJS) Kesehatan tahun 2019.
“Melihat beban kesehatan yang ditimbulkan akibat konsumsi MBDK berlebih dan efektifitas dari penerapan cukai MBDK yang telah ditunjukkan oleh negara-negara di ASEAN, rencana implementasi cukai MBDK di Indonesia juga perlu segera didorong proses aktualisasinya,” tulis peneliti CISDI dalam laporannya.
Pada tahun 2020, rencana kebijakan ini mulai bergulir lewat pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengendalikan tingkat konsumsi MBDK di masyarakat melalui penerapan cukai dan direspon positif oleh DPR RI.
Namun, hingga hari ini kebijakan tersebut belum kunjung terlaksana. Pemerintah beralasan masih mempertimbangkan kondisi ekonomi dan industri yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi dan masih dilakukan kajian bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu agar penerapannya efektif.
Kemenkeu mengungkapkan kebijakan tersebut kemungkinan baru akan diusulkan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun depan.
"Kebijakan cukai minuman berpemanis, sesuai dengan mekanisme UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) rencananya mungkin akan kami usulkan dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2024," ungkap Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani dalam konferensi pers APBN KITA, Senin (17/4/2023).
Adapun berdasarkan survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tahun 2023, disebutkan bahwa 58% masyarakat mendukung wacana pemerintah mengenakan cukai pada produk MBDK.
"Kami melakukan survei di 10 kota besar di Indonesia, hasilnya mereka mendukung wacana tersebut dan sekitar 18 persen masyarakat akan mengurangi konsumsi MBDK jika terjadi kenaikan harga sebesar 25 persen," kata Ketua YLKI Tulus Abadi saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (11/12/2023), seperti dilansir dari Antara.