ERA.id - Foto itu ternyata cocok. Tim Detasemen 88 (Antiteror) akhirnya menemukan identitas pelaku Bom Bali 2 setelah foto yang mereka kantongi dicocokkan dengan foto yang dibawa oleh pasangan suami istri Hidayah dan Rohayah asal Ciamis. Di potret itu terpampang wajah Ayip Hidayatullah, 21 tahun, yang menjadi pelaku ketiga peledakan bom di Jimbaran dan Kuta, Bali, 1 Oktober 2005.
Sosok Ayip pertama kali dihubungkan dalam kasus bom bunuh diri di Bali, pada Sabtu (1/10/2005) karena wajahnya terlihat dalam rekaman VCD hasil penggeledahan polisi di markas Noordin M Top di Semarang, Jawa Tengah. Seorang warga Pamarican di Ciamis mengaku mengenali wajah salah satu dari 4 orang yang ada di video berdurasi 15 menit tersebut. Itu wajah Ayip, kata dia.
Setelah pencocokan foto dan penayangan video dari VCD, polisi dan suami istri Hidayah dan Rohayah sepakat bahwa anak mereka Ayip terlibat dalam insiden terorisme yang menewaskan 23 orang dan melukai 196 orang.
Rohayah, ibu Ayip, awalnya sempat tak percaya bahwa anaknya lah yang ada di foto milih Densus 88, seperti ditulis Harian Kompas, (20/11/2005). "Namun, setelah diputarkan VCD, saya baru yakin," kata dia.
Selain mengenali anaknya lewat logat bicara, Rohayah juga yakin lewat perkataan sang anak dalam video.
"Dulu saya pernah berpesan kepada Ayip agar ia tidak usah bersedih dengan kemiskinan yang kami alami. Biarkanlah kita miskin harta, asal jangan miskin hati. Tetapi, tidak disangka ia justru memilih mati," kata Rohayah saat itu. Kalimat itu sempat dilontarkan salah satu orang dalam video.
Diceritakan oleh ibunya, Ayip Hidayatullah telah lama tinggal di Majalengka pasca lulus dari Madrasah Aliyah Assalam di Majalengka. Ia juga sempat menjadi pengajar di sana. Namun, pada Juli 2005, Ayip kembali ke rumah orangtuanya di Desa Bangunsari.
Di rumah itulah Ayip dikunjungi oleh salah satu temannya semasa di Madrasah dulu, yaitu Salik Firdaus, yang belakangan diketahui menjadi pelaku Bom Bali 2 lainnya. Salik saat itu menawarkan pada anaknya mengenai sebuah lowongan pekerjaan.
Pada Agustus, Ayip kemudian berpamitan pada orangtuanya karena hendak kembali ke Majalengka.
Pada 1 Oktober, terjadilah peristiwa Bom Bali 2. Tiga ledakan terjadi hampir bersamaan. Pertama, bom meledak di R.AJA's Bar and Restaurant Kuta beberapa menit sebelum pukul 20.00. Tak berselang lama, sebuah ledakan masing-masing terjadi di Nyoman Cafe dan Menega Cafe di Jimbaran, Bali.
Celah Sempit Krisis Identitas
Hidayat, ayah Ayip, mengaku tidak menyangka bila Ayip, anak sulungnya, menjadi teroris. Padahal, menurutnya, selama ini Ayip dikenal pendiam dan rajin beribadah.
Merasa turut bertanggungjawab atas perbuatan anaknya, Rohiyah pada 18 November 2005 juga meminta maaf kepada keluarga korban.
"Kepada seluruh keluarga korban, saya memohon maaf atas segala perbuatannya. Semoga Allah memberikan ampun atas perbuatannya," kata dia.
Berbicara mengenai keterlibatan para pemuda tanggung dalam aksi terorisme, Y.F.LA Kahija, pengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan melalui sebuah artikel di Harian Kompas, bahwa sel teroris kerap menggunakan krisis jati diri para pemuda sebagai celah masuknya nilai-nilai ekstremisme.
Ia mengutip seorang pakar psikologi Erik Erikson bahwa manusia mengalami 8 tahap pencarian jati diri. Misalnya, krisis kepercayaan lawan ketidakpercayaan yang dialami bayi berumur 0-1 tahun atau krisis otonomi lawan keraguan di umur 2-3 tahun. Di masa remaja ke atas, seseorang juga mengalami krisis mengenai identitas, keintiman personal, kreativitas, hingga integritas.
"Ketika menjalani tahap tertentu, setiap orang akan mengalami konflik yang, jika tidak diselesaikan, akan menghambat perkembangannya," kata Kahija.
Bahkan, perkembangan psikologi yang terhambat akan membuat seseorang merasa tidak mampu memenuhi nilai-nilai masyarakat. Dalam situasi ekstrim, kata Kahija, seseorang bahkan akan menerima jati diri negatif itu dan berani melakukan sesuatu yang melawan norma masyarakat.
Kahija sendiri menggarisbawahi bahwa orang yang dengan sengaja melanggar hal-hal yang dilarang pun juga memiliki rasa bersalah, tetapi kesadaran itu diabaikan atau ditekan ke alam bawah sadar. "Kesadaran akan penyimpangan itu terobati tatkala mereka bisa menemukan orang-orang lain yang senasib."
Setelah melebur dalam kebersamaan, ideologi kelompok bisa disuntikkan kepada mereka. Dalam hal inilah ideologi ekstrimis biasanya mulai ditanamkan kepada para rekrutan. "Para teroris bukanlah robot-robot yang tidak berperikemanusiaan, melainkan manusia yang merepresi perikemanusiaannya," pungkas Kahija.