ERA.id - Ketika Rakernas PDI Perjuangan pada 21 Juni 2022, yang semestinya mengeluarkan gagasan kebangsaan, tetapi ketua umumnya Megawati Soekarnoputri malah mengeluarkan pernyataan yang diduga rasis kepada masyarakat Papua dengan frasa “kopi susu” sehingga bisa disebut “mulai Indonesia banget”.
Video ucapan anak presiden pertama Republik Indonesia itu trending di banyak platform media sosial. Agar tidak salah tangkap, pernyataannya dihadirkan di sini secara verbatim.
"Maaf ya, sekarang dari Papua. Papua itu kan hitam-hitam, ya. Tapi maksud saya begini, waktu permulaan saya ke Papua, saya mikir, lho aku dewean yo [sendirian, ya]. Makanya kemarin saya bergurau dengan Pak Wimpi. Kalau dengan Pak Wimpi dekat, nah itu dia ada. Kopi susu.”
“Tapi sudah banyak lho sekarang, yang mulai blending jadi Indonesia banget. Betul. Rambutnya kriting, karena kan Papua itu di pesisirnya banyak pendatang, sudah berbaur. Maunya saya begitulah. Kan ada peradatan, yang saya bilang, aduh yo mbok sudah tu, berhentilah. Mana yang baik kita pake, mana yang tidak baik kita hindari.”
Dua frasa itu—“kopi susu” dan “Indonesia banget”—seakan masyarakat Papua dengan segala karakteristiknya bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Papua bisa disebut Indonesia jika memiliki karakteristik kulit cerah dan rambut lurus. Untuk merealisasikan “Indonesia banget” itu maka kehadiran pendatang di tanah Papua sangat penting.
Mereka nikah dengan orang asli Papua. Ada proses asimiliasi DNA. Hasil dari asimiliasi itu disebut sebagai “Indonesia banget” oleh Megawati Soekarnoputri. Mungkin seperti itu alur pikirannya.
Ucapan Megawati tersebut keluar dari kesadaran penuh dan hal itu menjadi halaman muka konsep keindonesiaannya—bahkan bisa jadi dari elite politik lainnya—sedang bermasalah. Presiden RI Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani hadir di forum itu dan ikut tertawa setelah Megawati mengucapkan “kopi susu”.
Slogan Bhinneka Tunggal Ika yang dikoar-koarkan sejak dulu kala dan masih digaungkan oleh para elite negeri ini menjadi mental pasca ucapan Megawati itu.
Frasa “Indonesia banget” mengarah ke manusia pribumi, seolah ada genetika asli di Indonesia; seakan Indonesia punya suku atau golongan asli. Apa iya seperti itu?
Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia (2017) menguraikan perjalanan manusia dari Afrika menyebar ke penjuru dunia: pergi ke Eropa, ke Asia, hingga sampai ke kepulauan Nusantara dan kepulauan Pasifik, kemudian manusia Australia dan Selandia Baru.
“Perkampungan-perkampungan nelayan mungkin sudah muncul di pesisir-pesisir Indonesia sejak 45.000 tahun lalu. Perkampungan-perkampungan ini bisa jadi merupakan pangkalan bagi Homo sapiens untuk melancarkan parade lintas samudra pertamanya: invasi terhadap Australia,” tulis Yuval.
Dan masyarakat Papua-lah yang melakukan perjalanan awal dari dataran Afrika, menuju Asia, lewati kepulauan Nusantara, hingga sampai ke dataran Papua. Kehadiran orang Papua tidak ujug-ujug muncul begitu saja, mereka melewati derasnya hujan, menghadapi gelombang besar, dan rintangan alam lainnya.
Sekitar 45 ribu tahun lalu itu, Sapiens yang hidup di Kepulauan Indonesia mengembangkan masyarakat pelayaran. Mereka belajar membangun kapal-kapal dan membawanya di laut lepas menuju pulau seberang. Mereka menjadi nelayan, pedagang, dan juga menjadi pelaut andal.
Dalam bukunya, Guns, Germs, and Steel (Bedil, Kuman, dan Baja): Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia (2013), Jared Diamond menguraikan lebih detail bagaimana orang yang sekarang tinggal di Papua adalah manusia pertama yang mendiami Kepulauan Indonesia yang bertahan dengan berbagai rintangan sehingga mampu menyeberangi laut Indonesia.
Diamond mengutip pernyataan Jonathan Kingdon dan Tim Flannery bahwa kolonialisasi Australia/Papua dari benua Asia mengharuskan mereka menghadapi lingkungan baru yang ditemui pada pulau-pulau di Indonesia—pesisir demi pesisir dengan sumber daya kelautan, terumbu karang, dan hutan bakau yang paling kaya di dunia.
“Ketika para kolonis melintasi selat yang memisahkan setiap pulau Indonesia dari pulau berikut di sebelah timur, mereka kembali menyesuaikan diri, memadati pulau berikut itu, dan selanjutnya menduduki pulau berikut lagi,” tulis Diamond. “Masa itu merupakan suatu masa keemasan yang sebelumnya tak pernah terjadi dan ditandai oleh ledakan populasi manusia secara beruntun.”
Toh, konsep “Indonesia banget” (atau pribumi Indonesia) dari Megawati juga tidak relevan setelah ke beberapa tokoh di Indonesia melakukan tes DNA. Misal, Najwa Shihab yang pernah menjadi relawan dalam program tes DNA untuk menelusuri asal-usul orang Indonesia (banget).
Menurut Najwa, sepengetahuannya bahwa dari sisi keturunan, ia lebih dekat dengan garis keturunan Hadramaut, Yaman. Namun, setelah tes DNA menujukkan gen dari Timur Tengah hanya 3,4%. Ada 10 percampuran DNA dalam diri Najwa Shihab.
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ikut juga dalam proyek DNA yang diselenggarakan oleh Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2019.
Kata Hasto, tes DNA ini semakin mengukuhkan prinsip kebangsaan dan moto Bhinneka Tunggal Ika sebagai realitas yang hidup, menjadi nilai, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu kesatuan bangsa yang berkesadaran dan berkehendak menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah Nusantara. Heterogenitas inilah yang menjadi alasan mengapa sila persatuan Indonesia begitu relevan.
Artinya, menjadi orang “Indonesia banget” tidak mesti berkulit “kopi susu” atau sawong matang dan tidak mesti berambut lurus. Menjadi “Indonesia banget” adalah menunjukkan jati diri masing-masing.
Jika Anda orang Bugis, tunjukkanlah kebugisanmu; jika Anda orang Jawa, tampilkan kejawaanmu; jika Anda orang Dayak, percaya dirilah dengan identitasmu; jika Anda suku Minang, hiduplah dengan adatnya. Begitu juga dengan orang Papua.
Orang Papua tidak mesti berkulit “kopi susu” dulu agar menjadi “Indonesia banget”, sebab “Indonesia banget” hadir dari keanekaragaman manusianya. Indonesia hadir karena beragamnya, bukan karena seragamnya. Kira-kira begitu, masak anak presiden pertama dan mantan presiden Indonesia masih luput perihal seperti ini?