Menyingkap Sisi Lain Tanah Abang yang Konon Sepi Pengunjung

| 23 Sep 2023 09:09
Menyingkap Sisi Lain Tanah Abang yang Konon Sepi Pengunjung
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Belakangan ada kabar beredar luas: Pasar Tanah Abang sepi pengunjung. Jeritan para pedagang yang selangkah lagi bangkrut karena digilas toko online diliput di mana-mana. Dalam banyak video yang bertebaran, tampak suasana kosong mencekam lorong-lorong di Tanah Abang dan kios-kios tak berpenghuni. Kami yang punya kenangan lama belanja baju lebaran di sana ikut mengaduh dalam hati. Benarkah Tanah Abang sudah mati?

Berbekal rasa penasaran yang bergemuruh, kami memutuskan mengunjunginya pada Rabu (20/9/2023) kemarin. Pemberhentian pertama kami tepat di gerbang masuk Blok A. Di pinggiran jalan, beberapa pedagang kaki lima masih memadati trotoar dan bajai-bajai ngetem di sebelahnya. Sekilas dari luar, Tanah Abang masih sama seperti dulu. 

Melewati pintu masuk, sapaan khas para pedagang Tanah Abang menyambut kami. "Boleh Pak, Boleh Bu, bajunya Pak, bajunya Bu!" Beberapa pengunjung lalu-lalang mengitari kios-kios di lantai LG, sementara para sales alat pijat menawari orang-orang yang lewat untuk melepas lelah di kursi-kursi pijat yang berjejer di dekat eskalator. Sekali sesi dibanderol seharga Rp20 ribu. Meski tak seramai yang kami ingat dulu, Tanah Abang tak sesepi yang kami bayangkan saat membaca berita-berita terbaru.

Baru setelah berjalan agak jauh ke dalam, beberapa kios tampak tutup; gerbang-gerbang besi digerendel; dan sebagian tertulis disewakan. Namun, kami tak merasa Tanah Abang mati suri. Sebelumnya kami pernah meliput suasana Mall Blok M terkini, dan dibandingkan dengan itu, Tanah Abang malah tampak lumayan sibuk. Eskalator dan lift hampir berfungsi semuanya, dari lantai dasar hingga 12. Hanya di Blok C yang eskalatornya kami temui berhenti bergerak.

Salah satu sudut Pasar Tanah Abang Blok A yang tampak sepi. (ERA/Agus Ghulam)

Kami menuju lantai 12 untuk meminta izin liputan ke pengelola. Di sana kami bertemu Hery Supriyatna, manager promosi PT Cakrawala Tirta Buana. Katanya, hari itu saja sudah ada empat media lain yang meliput Tanah Abang sebelum kami. 

"Habis rame-rame kemaren, pada datang ngeliput," ujarnya. Ia mengakui ada penurunan jumlah pengunjung, apalagi pasca pandemi, tetapi itu hanya musiman saja. "20 tahun gua di sini, udah biasa naik-turun. Nanti kalo udah deket puasa sampe lebaran, rame tuh."

Selain itu, sejak banyak pedagang Tanah Abang menggeluti bisnis online, banyak pembeli juga beralih ke sana. Kata Hery, bukan berarti Tanah Abang mati, sebab tiap bulan ia mengecek jumlah pengiriman di ekspedisi dari pedagang Tanah Abang, dan jumlahnya cukup banyak, tiap hari tak pernah absen.

Berbagai ekspedisi di Pasar Tanah Abang yang berada di luar Blok C. (ERA/Agus Ghulam)

Di Tanah Abang, berbagai ekspedisi kami temukan ada di luar gedung Blok C, mulai dari Pos Indonesia, TIKI, hingga Lion Parcel. Semuanya tampak sibuk. Bolak-balik pikap keluar-masuk mengambil kiriman paket berkarung-karung. Itu semua berasal dari para pedagang grosiran yang buka toko offline dan punya gudang di Tanah Abang. 

Kami sempat mewawancarai beberapa pedagang yang merasa Tanah Abang masih baik-baik saja, di antaranya Fauzan, pedagang kain dan baju asli Bukittinggi yang sudah berdagang mandiri di sana sejak 2000. Begini kisahnya.

Pedagang Tanah Abang di tengah tuntutan zaman

Fauzan datang ke Jakarta tahun 1998. Ia awalnya masih mengintil kerabatnya yang lebih dulu buka toko di Tanah Abang. Setelah dua tahun ikut orang, ia memutuskan buka usaha sendiri dan mulai menyewa salah satu kios untuk jualan baju. Ia bercerita, tahun 2000-an, biaya sewa tempat di sana masih tergolong mahal hingga Rp200 juta per tahun. 

Tahun ke tahun, bisnisnya kian sukses, Fauzan lalu mulai membawa orang-orang dari Bukittinggi untuk ikut berjualan bersamanya. "Sekarang udah gak kehitung Bang berapa yang saya bawa ke sini," ujarnya. "Ini satu lantai aja setengahnya ikut saya."

Fauzan (berbaju hitam) sedang duduk sambil mengawasi para pekerjanya membungkus pesanan online. (ERA/Agus Ghulam)

Waktu kami bertemu Rabu kemarin, Fauzan sedang sibuk membungkusi pesanan online di lantai 3A bersama pekerja-pekerjanya yang lain. Sudah ada puluhan tumpuk yang berjejer di lorong-lorong dan siap dikirim. Ia membuka toko online sejak 2016. Kini, jualannya bisa ditemukan di Shopee, Bukalapak, Lazada, hingga TikTok.

“Rata-rata nih, separuh pedagang toko di sini, ada online-nya,” cerita Fauzan. “Yang viral itu hanya keluhan orang-orang yang gak ada online-nya.”

Menurutnya, beberapa pedagang Tanah Abang memang masih kukuh bertahan jualan offline saja. Mereka ini kemudian melampiaskan lesunya penjualan ke pedagang lain yang punya toko online.

“Saya bilang yang ngeluh itu bagi orang yang gak ngerti era. Mereka bertahan di offline, kayak gini efeknya,” ungkap Fauzan. “Sebenarnya mereka harus ngikutin zaman, itu sih solusinya.”

Salah satu sudut Pasar Tanah Abang Blok A. (ERA/Agus Ghulam)

Fauzan sendiri membuka banyak keran untuk bisnisnya. Makanya ia bisa terus mempertahankan tokonya di Tanah Abang tanpa khawatir sepi pengunjung. Sebab, kebanyakan pembelinya sejak 20 tahun lalu juga telah beralih ke online. Lebih simpel dan efektif.

“Sekarang berita yang beredar itu kan TikTok mau dihapus segala macem, kalau menurut saya sih percuma aja dihapus,” ujar Fauzan. “Mungkin untuk pembatasan produk bisalah ya, kayak produk dari luar. Tapi kayak kita-kita ini kan produk lokal.”

Ia justru berharap alih-alih menghapus platform online, pemerintah bisa meregulasi aturan agar tak merugikan para pedagang lokal, termasuk menertibkan artis-artis yang mulai merambah jualan online hanya demi endorsement

“Mereka itu gak niat jualan, tapi karena artis jualan apa pun tetap banyak yang beli,” keluh Fauzan. “Kita-kita ini yang di bawah jadi susah naik.”

Jatuh-bangun Pasar Tanah Abang

Pasar Tanah Abang disebut-sebut sebagai pusat grosir tekstil terbesar se-Asia Tenggara. Dan sepanjang sejarahnya, eksistensi pasar ini sudah teruji oleh berbagai pasang-surut sejak era kolonial Belanda.

Pada mulanya, cerita Tanah Abang sebagai kawasan perdagangan dimulai sejak Kapitan China bernama Phoa Bing Ham membangun Kanal Molenvielt pada 1648 untuk mengairi lahan tebu di sekitar sana. Bekas peninggalan kanal tersebut hari ini bisa kita saksikan di kawasan Hayam Wuruk-Harmoni. 

Selang beberapa dekade kemudian, seorang pejabat VOC bernama Justinus Vinck membeli kawasan tersebut dari tuan tanah di Batavia, Cornelis Chastelein, pada 1733. Vinck lalu membangun dua pasar di atasnya: Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.

Pasar Tanah Abang sontak menjadi penampung hasil-hasil perkebunan dari daerah sekitarnya seperti Kebon Kacang, Kebon Melati, hingga Kebon Pala. Dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), Alwi Shahab menuturkan bahwa dahulu, di depan Pasar Tanah Abang terdapat toko-toko Cina dan pedagang-pedagang Betawi yang berjualan nasi uduk hingga sate kambing.

Tampak luar Pasar Tanah Abang dan segala kesibukannya. (ERA/Agus Ghulam)

Bertahun-tahun setelah berdiri, Pasar Tanah Abang ditimpa kemalangan. Pada tahun kelimanya, orang-orang Cina di sekitar sana diburu pasukan kolonial sebagai balasan atas serangan terhadap pos jaga VOC. Peristiwa berdarah itu dikenal sebagai "Geger Pecinan". Pasar Tanah Abang dihujani meriam dan porak poranda. Banyak orang mati dan bangunan hancur terbakar.

Huru-hara itu melumpuhkan Pasar Tanah Abang hingga mati suri selama 63 tahun. Baru pada 1801 pasar peninggalan Vinck itu dibangun kembali dengan bangunan sementara dan seadanya. Pasar itu kembali bergeliat setelah Gemeente (Kota Praja) Batavia merombaknya besar-besaran dan mendirikan bangunan permanen di atasnya pada abad ke-20. 

Pasar Tanah Abang memang sempat mati setelah Geger Pecinan, tetapi nadinya berhasil berdenyut kembali. Ia juga pernah sekarat di masa penjajahan Jepang hingga menjadi rumah para gelandangan, tetapi ia bangkit lagi setelah Indonesia merdeka. Hari ini, Pasar Tanah Abang diberitakan sepi pengunjung dan memasuki usia senjanya, tetapi kami percaya selama masih ada pedagang-pedagang seperti Fauzan yang menghidupnya sambil berkompromi dengan kecanggihan zaman, ia takkan jadi sekadar bahan nostalgia.

Rekomendasi