Argumentasi Pihak JK soal Masa Jabatan Cawapres Tak Tepat

| 24 Jul 2018 13:47
Argumentasi Pihak JK soal Masa Jabatan Cawapres Tak Tepat
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta. (Istimewa)
Jakarta, era.id – Argumentasi Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang disampaikan kuasa hukumnya, mengenai masa jabatan wakil presiden bisa lebih dari dua periode dinilai keliru. Karena dalam undang-undang sudah jelas tertulis jabatan presiden-wakil presiden dibatasi dua periode.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti menyampaikan, masa jabatan presiden-wakil presiden harus dibatasi. Menurut dia, hal itu jelas tertulis dalam Pasal 7 UUD 1945: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Sudah luar biasa jelas jabatan presiden-wakil presiden harus dibatasi. Kalau dipisahkan seperti argumen JK dan kuasa hukum, tidak tepat secara konstitusional,” kata Bivitri, saat dihubungi wartawan, Selasa (24/7/2018).

Kuasa hukum JK, Irmanputra Sidin, menyatakan frasa dalam Pasal 7 UUD 1945 harus diperjelas hingga JK bersedia menjadi pihak terkait. Dia menilai frasa satu kali masa jabatan itu hanya untuk jabatan presiden.

 "Frasa hanya satu kali masa jabatan itu hanya frasa untuk pemegang kekuasaan jabatan presiden, bukan untuk wakil presiden," tutur Irman, Jumat (20/7) lalu.

Menanggapi itu, Bivitri menyatakan presiden dan wakil presiden adalah satu kelembagaan, lembaga kepresidenan. Dia tidak sepakat dengan pendapat JK dan kuasa hukumnya karena Presiden dan wakil presiden adalah satu kesatian yang sama-sama punya pengaruh, pemilihannya pun satu paket, dan posisi wapres bukan seperti menteri.

“Kalau terpisahkan sistem ketatanegaraan kita jadi kacau, di mana pun di negara seluruh dunia itu memang dalam satu paket presiden-wakil presiden, enggak dipisah,” ujar salah satu pendiri PSHK tersebut.

“Secara gramatikal sudah jelas dalam UU mestinya enggak diinterpretasikan dengan berbagai metode lain. Sebenarnya tafsir di konstitusi sudah jelas, cuma ya kayaknya mencoba bangun tafsir berbeda,” sambungnya.

Lebih jauh, Bivitri menyampaikan jika uji materi terhadap Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Partai Perindo dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka hal itu membahayakan sistem ketatanegaraan. Kekhawatiran yang bisa muncul jika uji materi itu dikabulkan adalah akan disusul dengan uji materi pada semua level pemerintahan dan lembaga yang masa jabatannya dibatasi, dan saat masa jabatan tidak dibatasi maka berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

“Bisa-bisa yang lain membangun argumen serupa hingga tidak ada pembatasan kekuasaan untuk berbagai macam jabatan publik. Kita seperti mundur ke tahun 1998 dulu dan tidak bagus untuk regenerasi politik,” ungkap Bivitri.

Tags : pilpres 2019
Rekomendasi