Kisah Cinta Gerindra, PKS dan Demokrat

| 31 Jul 2018 17:28
Kisah Cinta Gerindra, PKS dan Demokrat
Ilustrasi (Ayonk/era.id)
Jakarta, era.id - "Pacarannya sama siapa, nikahnya sama siapa," adalah kutipan yang saya pakai untuk menggambarkan kondisi kebatinan Partai Keadilan Sejahatera (PKS), setelah Partai Gerindra merekrut Partai Demokrat bergabung ke koalisi Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden 2019.

Kutipan di atas tidak keluar dari saya begitu saja, keluh kesah itu diucapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS  Mustafa Kamal saat mengultimatum Gerindra untuk memberi PKS kursi cawapres. Apalagi, PKS sudah menyodorkan sembilan nama kadernya untuk mendampingi Prabowo dan melakukan penjajakan sejak lama.

Baca Juga : Pilihan Terakhir SBY dan Partainya

Ini dikatakan Mustafa untuk menganalogikan munculnya Partai Demokrat. Dia takut, Partai Demokrat yang datang belakangan membuat hati Prabowo dan Partai Gerindra lebih berbunga-bunga. Kehadiran Partai Demokrat memang menambah kekuatan bagi koalisi ini. Artinya, Prabowo sekarang didukung empat partai, yaitu Partai Gerindra, PKS, PAN dan Partai Demokrat.

Ternyata, cinta Partai Demokrat ke Prabowo merupakan pelarian karena partai berlambang bintang mercy ini tidak jadi berkomitmen dengan Joko Widodo dan koalisinya.

Komitmen Partai Demokrat yang bergabung dengan koalisi Prabowo diutarakan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Prabowo, Senin (30/7/2018). Partai ini mendeklarasikan memberikan dukungan kepada Prabowo menjadi calon presiden pada Pemilu Presiden 2019. 

"Kalau ditanya apakah ada diskusi pak Prabowo presiden tidak? Kami datang dengan satu pengertian pak Prabowo adalah capres kita," kata SBY di Kartanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (30/7/2018). 

Memang tidak ada bocoran terkait kesepakatan di balik dukungan Partai Demokrat kepada Prabowo untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan dengan legawa, pesan terakhir SBY dalam pertemuan itu menyerahkan kepada Prabowo untuk menunjuk langsung pendampingnya. 

Nasib istri pertama

Jika diibaratkan sebuah pernikahan, PKS ini seperti istri pertama Partai Gerindra. Apalagi, selama ini PKS dan Partai Gerindra memiliki kesamaan politik sejak 2014. Mulai dari koalisi bersama pada Pemilu 2014, hingga menjadi oposisi pemerintahan Jokowi-JK periode 2014-2019. Nah, Partai Demokrat ini, boleh jadi kita ibaratkan sebagai istri muda yang baru dipinang Partai Gerindra. 

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto hadir di kantor PKS (era.id)

Layaknya istri pertama, suka-duka telah dilalui PKS bersama Gerindra. Sebagai seorang istri yang setia, bahkan tahun itu, PKS rela memberikan kursi cawapres kepada Partai Amanat Nasional (PAN), yang mendorong Hatta Rajasa maju sebagai pendamping Prabowo. 

Kesetiaan PKS kembali diuji di Pilkada DKI Jakarta, kala itu, Gerindra yang mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno hanya berkoalisi dengan PKS, untuk menghadapi calon petahana Basuki Tjahja Purnama- Djarot Saiful Hidayat dan politikus baru, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. 

Baca Juga : Hubungan PKS-Gerindra Retak

Tidak disangka, Partai Gerindra dan PKS menang meski pertarungan harus dilewatkan dengan babak tambahan alias dua putaran. Kisah cinta Partai Gerindra dan PKS berlanjut di Pilkada Jawa Barat, namun akhir cerita ini tidak seindah di Jakarta.

PKS berusaha meyakinkan pasangannya, Partai Gerindra, bahwa mereka bisa berkoalisi berdua saja dalam Pemilu 2019, sebagaimana saat meraih kemenangan di Pilkada DKI. Namun jika Partai Gerindra tetap menolak sembilan calon yang diajukan oleh PKS, partai berlambang dua bulan sabit itu berniat berpisah dengan Gerindra.

"Kami siap berkoalisi dengan Pak Prabowo asal cawapresnya diambil dari kami," kata Ketua Umum PKS, Sohibul Iman pada April 2018.

PKS pun menyodorkan sembilan nama yang telah digodok untuk menjadi cawapres Prabowo di pilpres 2019. Sembilan nama itu adalah Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS Anis Matta, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al'Jufrie, Mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua DPP PKS Al Muzammil Yusuf, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

Pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. (era.id)

Nasib cawapres PKS

Nama-nama yang diajukan PKS bukan sembarang orang, mereka adalah kader-kader terbaik yang menduduki sejumlah tempat strategis, bahkan satu dari sembilan nama tersebut yakni Salim Segaf AlJufrie, mendapat restu dari Ijtima (kesepakatan) Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa, untuk maju mendampingi mantan Danjen Kopassus tersebut. Namun Prabowo tetap bergeming. Dia belum memberikan pernyataan soal ini.

Lantas apakah jika disandingkan dengan Salim, elektabiltas Prabowo akan melonjak? pengamat politik, Ray Rangkuti menerangkan Prabowo tidak membutuhkan sosok Salim. 

Baca Juga : Rekomendasi Ulama, PKS: Salim Segaf Bukan Harga Mati

Alasannya pertama, Prabowo selama ini telah mengantongi suara umat muslim di Indonesia, pimpinan Partai Gerindra itu lebih membutuhkan sosok muda yang dapat menarik suara milenial dan golongan tengah. 

Kedua, berdasarkan geopolitik, Prabowo kuat di bagian Barat Indonesia seperti pulau Sumatera dan Jawa. Alangkah baiknya, jika pendamping Prabowo berasal dari Indonesia bagain barat.

Selain itu bahkan dalam berbagai lembaga survei, nama Salim tidak masuk ke dalam 5 besar tokoh Indonesia dengan tingkat elektabilitas tertinggi. 

"Kalau Salim itu enggak akan nambah suara Prabowo karena itu membuat Prabowo tetap di jalur kanan," kata Ray Rangkuti beberapa waktu lalu.

Rekomendasi