Tahun Baru 2019, Berharap Politik Lebih Substantif

| 31 Dec 2018 10:35
Tahun Baru 2019, Berharap Politik Lebih Substantif
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Ruang publik Indonesia sudah terasa sesak, gumoh, dengan berbagai manuver dari elite politik yang masih jauh panggang dari api dalam berdemokrasi secara ideal. Adalah tanggung jawab kita bersama di tahun baru 2019 ini untuk menciptakan khazanah perpolitikan Indonesia agar lebih baik lagi.

Pada tahun 2018, gonjang-ganjing perpolitikan mulai terasa pada saat mencuatnya kasus berita bohong yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet. Dia mengaku telah dianiaya oleh sekelompok orang tak dikenal, dan Ia menuding lawan politiknya menjadi dalang peristiwa tersebut. Belakangan kasus itu terbongkar hanya bualan Ratna semata. Foto luka memar yang viral di masyarakat yang awalnya dijadikan bukti penganiayaan, ternyata akibat bekas operasi plastik yang dia lakukan.

Usai peristiwa tersebut, saling serang antar kedua kandidat tak terelakan lagi. Munculnya politik genderuwo misalnya, polemik ini muncul lantaran petahana menuding lawan politiknya hanya menggunakan politik ketakutan untuk menarik simpati masyarakat.

Setelahnya muncul lagi istilah politik sontoloyo, dan lain sebagainya, yang berujung kepada munculnya istilah firehose of falsehood yang merujuk kepada strategi kampanye Prabowo yang dinilai banyak mengeluarkan kebohongan-kebohongan dalam kampanyenya.

Sementara itu serangan dari kubu penantang politik juga tidak kalah keras. Kubu penantang menuding kinerja pemerintah saat ini tak dapat mengangkat perekonomian masyarakat Indonesia. Mereka menuding, di era pemerintahan petahana saat ini, harga sembako semakin mahal, pengangguran semakin banyak, pokoknya isu-isu seputar ekonomi menjadi sorotan kubu penantang. 

Bukan hanya itu, narasi-narasi tentang isu PKI, antek asing, antek aseng, juga masih mengisi ruang publik khususnya di sosial media. Politik identitas, jualan isu SARA juga masih santer dipertontonkan kepada publik. 

Pengamat Politik Adi Prayitno menegaskan, semestinya kondisi perpolitikan Indonesia jauh lebih kondusif. Tidak perlu lagi ada politik yang saling serang seperti ini.

"Konflik politik jangan sampai berhenti pada narasi-narasi yang saling menindas, saling nyinyir, saling ngata-ngatain, jangan sampai di situ," katanya kepada era.id beberapa waktu lalu.

Seperti kita ketahui, saat ini masa kampanye sudah separuh masa kampanye--waktu pemilihan 17 April 2019. Sehingga wajarnya visi misi kedua paslon capres cawapres harus sudah mulai dipahami oleh publik.

Baik Paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mereka sama-sama memiliki visi misi yang harus disosialisasikan kepada masyarakat.

"Jokowi itu visi misinya 35 halaman, ingin melanjutkan apa yang sudah dikerjakan. Prabowo itu visi misinya 74 halaman yang dia sebut sebagai 4 pilar kesejahteraan rakyat. Itu lah yang kemudian harus disampaikan ke publik, dengan cara yang mudah dimengerti, dengan cara yang merakyat, dengan cara yang populis," katanya.

Menurut Adi, saat ini, pemahaman masyarakat terhadap visi-misi masing-masing kandidat itu masih lemah, karena paslon tidak menarasikan itu dengan baik ke masyarakat.

Sementara itu, yang namanya perbedaan apalagi dalam perpolitikan tidak akan pernah bisa hilang. Hal tersebut sudah menjadi fitrah, karena jika kita bisa menyikapinya dengan bijak, perbedaanlah yang dapat mempererat sebuah persatuan.

Hanya saja di momen tahun baru 2019 ini, patut disayangkan apabila perseturan dari sebuah perbedaan berhenti hanya sebatas sebuah perdebatan. Hal itu tentu sangat kontraproduktif dengan agenda bangsa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain khususnya negara-negara maju.

Adi mengatakan seharusnya perdebatan yang dilontarkan dari kedua paslon capres-cawapres dilanjutkan dengan dialektika tarung gagagasan, visi misi, dan program dari masing-masing kandidat. 

Perang Data

Menurut Adi yang paling dikhawatirkan adalah apabila dari kedua kandidat ini terjadi perang data. Satu pihak mengklaim punya data valid, tapi pihak yang lainnya juga mengklaim punya data valid. 

"Perang klaim ini mesti diatur dengan baik, karena setiap paslon yang tampil di ruang publik maupun tempat seminar, di TV atau di mana pun. Kemudian bikin makalahnya, tunjukan bukti-bukti keberhasilan itu. Biar tidak hanya sebatas klaim, biar tidak hanya sebatas omongan," katanya.

Misalnya Presiden Joko Widodo bilang ekonomi Indonesia baik, tidak ada masalah dengan tenaga kerja asing, tidak ada masalah dengan pertumbuhan ekonomi. "Na, itu yang ditunjukan ke publik, di print out. Bukan hanya sebatas klaim," kata Adi.

Begitupun dengan kubu prabowo, yang menuduh bangsa ini sedang berada diambang kehancuran. "Tunjukan gitu lho bagaimana logikanya, print out, biar hanya tidak sebatas ngomong-ngomong," tegas Adi.

Harusnya kedua belah kubu menyediakan akses datanya. Jangan biarkan publik sendiri yang mencari datanya itu susah.

Politik SARA

Soal politik SARA juga harus diantisipasi, padahal dalam Undang-undang Pemilu sudah jelas dilarang menghina suku agama pasangan calon atau partai tertentu. Adi pun khawatir kalau strategi politik seperti ini dilanjutkan akan membuat keributan.

Jangan karena hanya ingin menang, hanya karena elektabilitas, isu-isu yang sifatnya sensitif memancing keributan diberbagai tempat, itu diproduksi terus. Toh masih banyak cara lain untuk meyakinkan publik bahwa apa yang mereka tawarkan itu masih masuk akal. Tidak harus mengaduk-aduk perasaan umat. 

"Bahayanya, khawatir akan memancing keributan," kata Adi. 

 

Rekomendasi