Jakarta, era.id - Pemutusan kontrak kerjasama dengan rumah sakit oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuai polemik. Bahkan ada yang menduga kebijakan tersebut hanyalah dalih untuk menekan defisit yang dialami oleh BPJS.
Segala duduk perkara bermula ketika sekitar 65 rumah sakit tercatat dibatalkan kontrak kerjasamanya dengan BPJS. Alasan pemutusan kontrak kerjasama itu adalah karena RS harus memiliki sertifikat akreditasi.
Imbasnya beberapa rumah sakit terpaksa menghentikan sementara layanan untuk pasien BPJS. Di Jakarta misalnya, ada tiga rumah sakit yang menghentikan sementara layanan BPJS kesehatan, yaitu RSUD Jati Padang, RSUD Cipayung, dan RSUD Kebayoran Lama.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangan persnya menjelaskan, sertifikat akreditasi merupakan persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh setiap rumah sakit yang melayani Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pada 2019.
Aturan tersebut termaktub pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan yang sudah direvisi dengan Permenkes No 99 2015.
Kendati peraturannya sudah bergulir sejak lama, namun baru kali ini penerapannya dilakukan secara efektif yakni per 1 Januari 2019, lantaran klausul dalam Perpres nomor 82/2018.
Pelayanan BPJS Kesehatan (setkab.go.id)
Dinilai Kontraproduktif
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar, sebenarnya per 1 Januari terdapat 616 RS yang belum bersertifikat akreditasi. Karena jumlahnya terlalu besar, maka disisir kembali RS mana yang masih layak untuk bekerjasama dengan BPJS. Maka diperoleh angka 65 rumah sakit saja yang diputus kerjasamanya oleh BPJS Kesehatan.
Dalam rangka peningkatan kualitas mutu pelayanan kesehatan RS sertifikat akreditas adalah hal yang baik dan patut didukung. Akan tetapi persoalannya adalah BPJS tidak bijak dalam menerapkan kebijakan tersebut, apabila melihat situasi demand peserta BPJS yang semakin meningkat.
"Kenapa tidak juga BPJS kesehatan ini bijaksana dalam menghadapi masalah akreditasi ini," Kata Timbul kepada era.id, Senin (7/1).
Menurut Timbul, melihat jumlah RS yang saat ini ada di Indonesia saja jumlah tersebut masih belum memadai untuk dapat melayani peserta BPJS. Dan dengan semakin berkurangnya RS yang tidak bekerjasama dengan BPJS, mau dibawa ke mana itu nasib peserta BPJS tersebut.
Memang belum semua RS yang ada di Indonesia telah bekerjasama dengan BPJS. Data yang ada menunjukan rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS per 31 2018 yakni sebanyak 2.432 dari 2800 RS yang ada.
"Artinya kalau kita melihat fakta di lapangan dengan 2.432 saja masih banyak peserta JKN yang masih sulit mencari ruang perawatan. Dalam sebulan kemarin saja ada dua orang yang meninggal karena sulit mencari ruangan ICU itu yang dikasih tau ke kita, belum yang lain-lain," tegas Timbul.
Sementara peserta Jaminan Kesehatan Nasional selalu naik tiap tahunnya. Per 1 Januari 2019 saja tercatat jumlah peserta JKN mencapai 207,9 juta peserta. Sedangkan akhir 2019 ini BPJS menargetkan sebanyak 251 juta orang menjadi peserta JKN. Makanya, apabila jumlah pesertanya naik, maka jumlah RS yang dapat melayani peserta JKN tersebut juga harus bisa mengimbangi.
"Kalau pesertanya naik terus maka utilitas nya juga akan naik artinya, RS harus bisa mengimbangi, bukannya ditingkatkan malah dikurangi RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan," katanya.
Sedangkan menurut Timbul peningkatan jumlah RS pada 2017-2018 hanya mencapai tiga persen. "Padahal konstitusi kita menyatakan dengan sangat jelas pasal 34 mengatakan fasilitas kesehatan itu tanggung jawab pemerintah," katanya.
Memang, penggalakkan sertifikat akreditasi yang harus dimiliki oleh RS harus didukung. Sayangnya dengan kondisi saat ini seharusnya "Pemerintah coba tetap mengadakan kerjasama dengan melakukan supervisi seceara intens agar rumah sakit dapat sertifikasi akreditasi," pungkasnya.