Ketimbang 01 dan 02, Kami Lebih Peduli soal HAM

| 18 Jan 2019 20:10
Ketimbang 01 dan 02, Kami Lebih Peduli soal HAM
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Jakarta, era.id - Debat perdana Pilpres 2019 telah dilewati. Lancar, sesuai aturan, serta normatif. Saking normatifnya, prediksi kami soal substansi debat yang kami pikir bakal penuh dengan perkara konkret, nyatanya malah salah besar. Coba saja, mana bahasan soal penyerangan Novel Baswedan, soal penembakan 98, atau soal pembantaian 65?

Tapi, enggak apa-apa, debat normatif malam kemarin akhirnya membuat kami sadar, bahwa kami awak era.id jauh lebih peduli soal kasus-kasus di atas ketimbang dua pasang capres-cawapres Pemilu 2019.

Jadi, sepekan sebelum debat digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan pada Kamis (17/1) kemarin, kami berdiskusi dalam bergelas-gelas kopi di kantor, memetakan isu turunan apa saja yang kira-kira bakal jadi bahasan debat yang mengangkat empat tema besar: hukum, HAM, terorisme, dan korupsi.

Isu hukum, terorisme, dan korupsi boleh jadi bahan diskusi paling membingungkan. Begitu banyak bayangan kami soal isu turunan dari tiga tema tersebut. Tapi, soal HAM, kami enggak perlu banyak ribut. Dengan mudah, kami sampai pada tiga isu konkret yang kami --dan seluruh orang-orang dengan ingatan sehat-- prediksi dengan amat yakin akan jadi bahasan dalam debat: Isu penyerangan Novel, isu penembakan 1998, hingga isu pembantaian 1965.

Tapi, seperti yang kita semua tahu, enggak ada tuh satupun bahasan soal isu-isu konkret yang kami sebut di atas. Nyatanya debat malah terasa 'kosong'. Pengamat politik Universitas Jember, Rachmad Hidayat bahkan menyebut debat malam kemarin sebagai kemunduran dalam pesta demokrasi. Katanya, para calon, baik itu Jokowi, Ma'ruf, Prabowo, ataupun Sandi sama-sama gagal menyampaikan hal-hal konkret nan visioner soal isu-isu yang jadi tema besar, termasuk isu HAM. Dan tentu saja, debat tadi malam, bagi Rachmad adalah kegagalan seluruh pasangan calon untuk meyakinkan masyarakat.

"Saya agak kecewa dengan paparan yang disampaikan oleh masing-masing calon presiden, baik nomor urut 01 maupun nomor urut 02, karena keduanya tidak bisa menyampaikan sesuatu yang visioner terkait isu hukum, HAM, korupsi, dan terorisme untuk bangsa Indonesia, kata Rachmad sebagaimana dikutip dari Antara. Jumat (18/1/2019).

Dan bukan tanpa alasan kami mengklaim diri kami sebagai pihak yang lebih peduli soal Novel, 98, ataupun kasus 65 ketimbang empat peserta debat kemarin malam. Sebab, khusus isu HAM, hasil diskusi kami di kantor kemudian kami garap menjadi sejumlah konten, termasuk podcast. Satu hari jelang debat digelar, kami menemui Maria Catarina Sumarsih, salah satu inisiator gerakan Aksi Kamisan nan mahsyur. Selain Sumarsih yang merupakan ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang jadi korban penembakan aparat dalam tragedi Semanggi 1 pada 13 November 1998, kami juga berbincang dengan Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dan Haris Azhar, pegiat HAM yang juga pendiri Lokataru Foundation.

Dalam obrolan yang kami kutip dari program podcast kami, NGEPOD, ketiga narasumber di atas sejatinya telah menyampaikan pesimisme mereka soal substansi debat pilpres. Wong belum apa-apa, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah membatasi konteks perdebatan. Tujuannya, biar lebih adem, gitu. Adem, sih. Saking ademnya, enggak ada satupun calon yang bicara substansi apalagi komitmen dalam penegakan HAM. Yang ada malah sempat bicara soal beras. Beras dan HAM, ada sih persamaannya, tapi...

Padahal, kata Usman, mengorek seberapa jauh komitmen dua pasang calon dalam menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu yang selama ini mandek adalah hal yang wajib jadi substansi dalam perdebatan. Bukan apa-apa, Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan TAP MPR sudah mengamanatkan, bahwa siapa pun presiden Indonesia, dia wajib menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jadi, ya seharusnya masyarakat memang berhak tahu, sejauh mana calon-calon pemimpin bangsa ini memegang komitmen dan pertanggung jawaban terhadap pemenuhan 

"Dalam konteks debat capres itu, menurut saya gerakan mahasiswa di awal reformasi itu kan telah menghasilkan perangkat perundang-undangan yang baru. Dari TAP MPR sampai UU Pengadilan HAM. Dan seluruh produk perundangan itu mewajibkan negara, siapapun presidennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dengan kata lain, memecahkan masalah HAM masa lalu adalah kewajiban. Karena itu merupakan kewajiban, ia tidak boleh dihilangkan," kata Usman, kami kutip Jumat (18/1/2019).

"Debat itu boleh dan memang dibatasi. Dari segi waktu, dari bahasa-bahasa yang berbau kebencian, baik itu kebencian ideologis, agama, etnis, dan SARA, gitulah. Tapi kalau agenda HAM itu dihapuskan, Tetapi kalau agenda HAM itu dihapuskan, itu aneh. Justru yang wajib dihapuskan, dan yang enggak wajib malah dilanjutkan. Itu saya kira kesalahan fatal sikap KPU untuk menerima kesepakatan kedua pihak untuk tidak menyentuh persoalan HAM."

Mengingat

Okay, barangkali KPU dan empat peserta pemilu kesayangannya lupa soal tanggung jawab negara terhadap tiga pelanggaran HAM serius yang menimpa anak-anak bangsa, mulai dari pembantaian tahun 1965, penembakan 1998, hingga kasus Novel Baswedan, kami akan membantu untuk mengingat.

Dimulai dari pembantaian 1965. Saat ini, lima dekade lebih peristiwa sadis yang biasa disebut G30S itu menjadi lampau. Pembantaian massal gerakan antikomunis itu menewaskan seenggaknya 500.000 hingga satu juta jiwa. Saat itu, upaya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) gagal dan berujung menjadi aksi massal antikomunis.

Aksi yang dikomandani militer plus negara adidaya di Barat sana itu enggak cuma menewaskan ratusan ribu orang, tapi juga meninggalkan penderitaan bagi mereka yang menjadi korban penyiksaan, mereka yang ditahan sebagai tahanan politik dan berbagai sebutan untuk kekejaman-kekejaman lain yang amat menodai nilai-nilai HAM. Saat itu, Jenderal Soeharto tampil sebagai pahlawan yang menumpas PKI serta orang-orang yang diduga terafiliasi. Pembantaian itu juga jadi salah satu pintu yang membuka langkah Soeharto maju menggeser Presiden Soekarno dan memulai rezim Orde Baru yang mahapanjang selama 32 tahun.

Dimulai dengan pertumpahan darah, Orde Baru pun diakhiri dengan pertumpahan darah. Puncak keresahan terhadap kepemimpinan Soeharto dimulai pada 1997. Berawal dari krisis moneter yang mendera negeri, gelombang-gelombang protes terhadap pemerintahan Soeharto menggulung dan terus membesar, hingga 12 Mei 1998 yang jadi puncak gerakan penggulingan Soeharto oleh mahasiswa, dari jalanan ke Gedung DPR.

Aksi mahasiwa kala itu direspons represif oleh aparat keamanan, baik itu polisi dan TNI. Empat orang mahasiswa jadi korban hari itu, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi 1. Mereka yang tewas hari itu adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, serta Heri Hertanto. Kemudian, 24 September 1999, mahasiswa kembali melakukan demonstrasi besar-besaran.

Kali ini, pemicunya adalah rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dinilai bersifat otoriter. Hari itu, penembakan dilakukan. Catatan KontraS menyebutkan, ada sebelas orang meninggal di seluruh Jakarta, termasuk Wawan, putra Sumarsih.

Tahun 2017 barangkali adalah tahun yang paling menyedihkan untuk penegakan hukum kasus korupsi. 11 April, Novel yang baru pulang salat subuh dari masjid di dekat kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara diserang oleh dua orang tak dikenal. Dua orang yang berboncengan sepeda motor itu menyiramkan air keras ke wajah Novel.

Sejak itu, Novel menjalani serangkaian perawatan medis untuk menyembuhkan wajah dan memperbaiki fungsi matanya. Proses pengobatan berjalan baik, namun jelas enggak sebaik jalannya proses penyidikan terhadap kasus ini. Kini, tahun 2019 sudah hampir menghabiskan bulan pertamanya, tapi penegak hukum negeri belum juga berhasil mengungkap pelaku, apalagi dalang penyerangan Novel.

 

Rekomendasi