Ambigu yang dia maksud antara ABB yang memang sudah waktunya bebas atau karena kebijakan pemerintah yaitu grasi.
"Ada yang mengatakan itu adalah hak dari Abu Bakar Ba'asyir. Kalau hak ya bebas, bebas aja. Enggak perlu diklaim sebagai sesuatu yang menggunakan instrumen yang ada pada presiden berupa grasi," katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/1/2019).
Selain itu, politikus yang dipecat PKS ini mengatakan, pemerintah masih gamang mengatasi isu terorisme. Ditambah, sambung dia, pemerintah tak berani mengatakan ABB sebagai pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah.
"Abu Bakar Ba'asyir itu kan deliknya pindah-pindah enggak kuat sebenernya deliknya itu. Tetapi kalau orang kaya Abu Bakar Ba'asyir itu rada nekat begitu," ucapnya.
Dia pun tak sepakat ketika pembebasan ini disebut karena kebaiakan Presiden Jokowi. Kata dia, anggapan ini bermuatan politis apalagi rencana pembebasannya terjadi setelah debat capres dengan isu HAM, korupsi, hukum dan terorisme.
Fahri menerangkan, jika seperti ini ABB tidak ingin keluar karena dimanfaatkan secara politik.
"Karena ini mau dipakai secara politik akhirnya Abu Bakar Ba'asyir enggak mau keluar," jelasnya.
Sekadar informasi, Abu Bakar Ba'asyir sudah dinyatakan bebas Jumat, 18 Januari 2019. Pembebasan ini dari saran Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus penasihat Jokowi, Yusril Ihza Mahendra.
"Jokowi menegaskan kepada saya bahwa beliau prihatin dengan keadaan Ustaz Abu Bakar. Karena itu meminta saya menelaah, berdialog, dan bertemu Abu Bakar di LP Gunung Sindur, Jawa Barat," kata Yusril, Jumat (18/1).