Katanya, Pembebasan Ba'asyir Ide Yusril Ihza Mahendra

| 23 Jan 2019 21:13
Katanya, Pembebasan Ba'asyir Ide Yusril Ihza Mahendra
Kuasa hukum Abu Bakar Ba'asyir bertemu dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Kuasa hukum dan keluarga Abu Bakar Ba’asyir bertemu dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Mereka mengadu tentang penundaan pembebasan Ba'asyir. 

Perwakilan Kuasa Hukum Mahendradatta mengungkap, ide pembebasan Ba’asyir berasal dari Yusril Ihza Mahendra selaku Kuasa Hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf.

“Dari Yusril, katanya. Tapi bahasanya gini, dia telah meyakinkan presiden dan sebagainya, pokoknya presiden sudah setujulah dengan pembebasan bersyarat. Ustaz masih tanya, kalau saya (bebas) masih dengan syarat-syarat enggak usahlah (bebas),” kata Mahendradatta, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/1/2019).

Dia menambahkan, Ba’asyir menolak pembebasan ini jika menjadi tahanan rumah. Apalagi, ditambah adanya pengamanan.

“Kalau tahanan rumah jadi repot karena harus ada penjaga dan sebagainya. Enggak ustaz, ini ditirukan oleh ustaz pada kami, enggak ini bebas tanpa syarat (kata Yusril). Kemudian kami baru datang silaturahmi,” tuturnya.

 

Di samping itu, Mahendradatta mengaku bingung lantaran awak media mengejarnya terkait dengan kabar pembebasan Ba’asyir. Padahal, katanya, belum ada pembicaraan mengenai pembebasan ini.

“Ada teman-teman media yang tanyakan ada undangan ke Gunung Sindur, artinya mau ada konferensi pers. Konferensi pers apa ini? Dia enggak tahu karena di dalam. Kemudian yang jadi masalah tiba-tiba diumumkan presiden akan bebaskan Ba’asyir tanpa syarat dan gayung bersambut ada pernyataan Presiden RI waktu acara di Garut,” ucapnya.

Di sisi lain, Mahendra meminta, agar pembebasan Ba’asyir tidak dipolitisasi di tahun politik ini.

“Kami minta agar peristiwa ini tak dipoliisir, walau memang suasana dalam rangka tahun politik,” kata dia.

Tak pernah ada dokumen perjanjian

Mahendradatta juga menepis soal adanya dokumen penandatangan perjanjian atau ikrar cinta NKRI dan Pancasila sebagai dasar pembebasannya.  Menurut dia, kliennya tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu kepada siapapun. Bahkan, katanya, Ba’asyir juga belum pernah diberikan dokumen apapun.

“Di sini, kami pesankan pada semua pihak, terus muncul isu ustaz tak mau tanda tangan ikrar terhadap NKRI. Terus terang kami semua juga bingung ini siapa yang ngmong. Kami tanyakan tadi terakhir, komfirmasi tadi ustad ‘saya disodorkan saja belum pernah’, kok bisa lebih tahu gitu,” terangnya.

Apalagi, kata Mahendra, ikrar masuk sebagai syarat pembebasan narapidana pada tahun 2018. Sedangkan, menurut dia, Ba’asyir menjadi terpidana kasus terorisme pada tahun 2012. Dia menilai, perlu melakukan peninjauan karena hal ini termasuk hukum non-retro aktif.

“Kemudian saya dikejar-kejar teman-teman ini apakah ustaz tak mau tanda tangan? Lho tunggu dulu kita masih bicara. Bukan tanda tangan ikrar saja. Ikrar masuk dalam syarat 2018, lah Ini kan kita masalahin semua syarat 2018. Yang tadi tinjauan hukum tadi hukum non-retro aktif,” katanya.

Baca Juga : Menkumham: Ada Syarat Penting untuk Pembebasan Ba'asyir

Menurut Mahendra, berdasarkan Pasal 14 k UU nomor 12 tahun 1995, napi berhak atas pembebasan bersyarat tanpa ada keharusan untuk melakukan penandatanganan ikrar cinta NKRI.

“Kami pelajari semua tak ada syaratnya apa. Lari ke KUHP ada syaratnya bila sudah jalani 2/3 masa hukumannya. Kami cari yang KUHP dan UU lain. Nggak ditemukan syarat-syarat lain. Itu artinya UU tak perintahkan begitu, Ini peraturan pemerintah, serba pemerintah,” tutupnya.

Rekomendasi