Mungkin sudah ada yang lupa dengan proses RUU ini. Tapi, beberapa waktu lalu, sebuah petisi dari Maimon Herawati--pengajar Universitas Padjajaran--di situs Change.org menyadarkan kembali keberadaan RUU tersebut.
Di petisi itu, Maimon bilang, RUU P-KS pro zina lantaran tidak ada pengaturan kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama. Dia juga berkata, RUU P-KS ini membolehkan lelaki berhubungan sesama asal suka sama suka. RUU ini, ujar dia, membuka celah seks bebas.
Sementara itu, di ranah politik, RUU ini tidak sepenuhnya bulat diterima fraksi-fraksi di parlemen. Adalah Fraksi PKS yang menolak draf RUU ini.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, alasan penolakan ini karena masukannya tidak diakomodir. Di antaranya, perubahan defisini, cakupan kekerasan, hingga perspektif yang menempatkan Pancasila khususnya nilai-nilai agama yang berlandasakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas dalam RUU tersebut.
"Definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berprespektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Bahkan berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang," kata Jazuli.
Jazuli menegaskan, sikap partainya yang menolak RUU ini diperkuat dengan derasnya kritisi dan penolakan dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap RUU tersebut yang dinilai justru berpotensi memberi ruang bagi perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang secara otomatis bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.
Ilustrasi (Pixabay)
Rupanya, sikap Fraksi PKS ini tidak didukung koleganya--di Pemilu 2019--Partai Gerindra. Partai Gerindra mengatakan RUU ini dipastikan tidak akan memberi ruang perzinahan seperti yang ditakutkan orang. Meski, Wakil Ketua Komisi VIII DPR ini menyatakan terbuka ruang diskusi untuk perubahan draf RUU tersebut.
"RUU ini masih draf dan masih sangat terbuka untuk penyempurnaan-penyempurnaan. Gerindra mendukung UU P-KS dengan misi perlindungan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual," kata Sodik dihubungi era.id, di Jakarta, Senin (4/1/2019).
"Gerindra tidak mendukung dan akan menutup rapat-rapat jika ada pasal yang memberi ruang untuk zina, untuk aborsi, untuk LGBT," tuturnya.
Sependapat, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan mengatakan akan mengkaji secara mendalam draf RUU ini. Apalagi, mendapatkan sorotan publik yang serius.
Namun, Partai Golkar menginginkan adanya pencegahan dan rehabilitasi terhadap tindakan kekerasan seksual dalam RUU tersebut.
"Kita menginginkan bahwa kekerasan seksual tersebut, memang tindakan kekerasan yang disebabkan karena aktivitas seksual. Sehingga dari situ orang dipaksa, misalnya terjadi pemerkosaan itu harus ada, walaupun ada payung hukumnya, ada KDRT, ada undang-undang pidana, perlindungan anak, tetapi yang tidak ada aspek rehabilitasi dan pencegahan itu yang harus kita tekan kan,” ujarnya.
Ilustrasi Rapat paripurna DPR (Mery/era.id)
Wakil Ketua Komisi VIII DPR ini mengatakan, RUU P-KS ini masih dalam pembahasan pasal per pasal dan akan menuju proses pembahasan daftar isian masalah (DIM) antara DPR dan Pemerintah.
"Jangan sampai ada pasal-pasal yang bisa menimbulkan kontroversi, tetapi upaya untuk menghilangkan adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak akibat dari kekerasan seksual," jelas Ace.
RUU ini penting baginya karena kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak marak terjadi. Kata dia, aturan ini bisa dijadikan payung hukum untuk penegakkan hukum, meliputi rehabilitasi dan pencegahan terhadap kekerasan seksual.
Sementara itu, dilansir dari Detik.com, Fraksi PDIP, sebagai salah satu pengusul, membeberkan urgensi dari RUU itu. Anggota Komisi VIII dari Fraksi PDIP Budiman Sudjatmiko menegaskan, RUU ini dirancang untuk melindungi para korban kekerasan seksual yang selama ini kerap disalahkan.
"Tujuannya adalah untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual yang selama ini tidak pernah dianggap sebagai korban, semata-mata adalah karena berbagai aturan yang selama ini ada," ujar Budiman.
"UU ini tidak mengatur soal free seks dan segala macam," imbuhnya.
Ilustrasi (Pixabay)
Selama ini, kata dia, aturan yang ada justru membebankan kesalahan pada korban kekerasan seksual. Katanya, UU yang ada tidak melindungi korban kekerasan seksual.
"RUU ini ada untuk mengatur adanya pemaksaan-pemaksaan dan jebakan-jebakan. Karena selama ini yang dipaksa, yang dijebak adalah korban akibat kekerasan seksual, setelah jadi masalah malah mereka disalahkan. Malah mereka adalah korban pemaksaan dan korban jebakan, korban kekerasan," tutur Budiman.
"Nah justru ini adalah untuk mengatur agar korban-korban itu tidak lagi ditelanjangi seperti sekarang. Sudah jadi korban kekerasan, objek pemaksaan, objek jebakan budaya itu, malah mereka yang kemudian dipidanakan. Nah kebanyakan mereka itu adalah kaum perempuan, apalagi jika mereka dari kalangan sosial yang menengah ke bawah, kebanyakan di situ," sambungnya.