Kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, sasaran mereka adalah para mahasiswa rantau, pelajar yang berada di pesantren, dan pekerja yang perusahaannya berada jauh dari tempat tinggalnya.
"Kami membuka pengurusan pindah memilih pada tahap pertama, yang fokus sampai 17 Februari. Tapi nanti tetap dimungkinkan sampai 17 Maret. Undang-Undang kan membatasi sampai 30 hari sebelum hari pemungutan suara," tutur Pramono di Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (13/2/2019).
Pemilih yang akan pindah TPS bisa mendaftar ke KPU terdekat dari lokasi kediamannya saat ini. Pemilih hanya cukup membawa KTP elektronik (e-KTP) dan fotokopi Kartu Keluarga (KK).
"Secara resmi memang yang diminta itu e-KTP, tapi di beberapa tempat memang menanyakan salinan KK juga, untuk memastikan e-KTP ya asli apa enggak. Dalam mengurus, diupayaakan untuk datang sendiri. Toh kan juga bisa datang ke KPU tujuan, enggak harus ke tempat asal," jelas dia.
Surat pindah memilih itu disebut dengan formulir A5, yang bisa didapatkan dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat pemilih terdaftar di desa/kelurahan. Selanjutnya formulir tersebut dilaporkan ke PPS tujuan.
Bila yang berangkutan selesai mengurus seluruh proses kepindahan memilih, maka data pemilih di DPT lokasi asalnya akan dihapus. Pemilih yang sudah selesai mengurusi proses pindah lokasi pemilihan akan dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) di TPS tujuan.
Meski begitu, pindah memilih bukan tanpa konsekuensi. Pasalnya mereka yang mengajukan pindah lokasi pencoblosan tidak akan mendapat jumlah surat suara yang sama dengan tempat tinggal asal. Nantinya, mereka hanya akan mendapat surat suara sesuai dapil di mana tempat mereka mencoblos.
Aturan itu merupakan pembelajaran dari pemilu 2014 di mana mereka yang pindah lokasi pencoblosan kehabisan surat suara di TPS. Mekanisme seperti itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.