Dalam kepemimpinannya yang akan berakhir dalam beberapa bulan mendatang, Dewi bilang Jokowi-JK memang telah menjalankan reforma agraria melalui sejumlah program bagi-bagi sertifikat tanah dan perhutanan sosial.
Namun, menurut Dewi, Jokowi justru luput membicarakan dan melaporkan perkembangan realisasi redistribusi (distribusi ulang) tanahnya kepada masyarakat. Terlebih bagi mereka yang telah menerima janji reditribusi tanah dari konsesi perkebunan, maupun dari konsesi hutan skala besar.
"Padahal, awal masa pemerintahannya Jokowi telah 5 komitmen untuk menjalankan reforma agraria sebagai program yang didukung melalui reditribusi tanah 9 juta yang dialokasikan ke dalam 4,5 juta hektar redistribusi tanah dan 4,5 juta hektar legalisasi tanah untuk petani dan rakyat kecil," tutur Dewi di Kantor Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan, Senin (4/3/2019).
Komitmen awal pemerintahan Jokowi ini, lanjut Dewi, tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Oktober 2018, Direktur Jendral Penataan Agraria Kementrian ATR/BPN telah memaparkan capaian-capaian program reforma agraria selama 4 tahun terakhir. Salah satunya adalah redistribusi tanah dari Hak Guna Usaha (HGU) yang ditelantarkan perusahaan.
"Dari 400 ribu hektar target redistribusi tanah yang dicanangkan pemerintah, baru 270.237 hektar yang terealisasi," kata dia.
"Malah, dalam catatan monitoring KPA, baru 785 hektar yang diredistribusikan sesuai dengan tujuan dan prinsip reforma agraria, yakni Desa Mangkit di Sulawesi Utara, Desa Pamegatan dan Pasawahan di Jawa Barat dan Desa Tumbrek di Jawa Tengah," lanjutnya.
Dengan demikian, Dewi meminta Jokowi-JK memaksimalkan mandat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Perpres Nomor 86 Tahyn 2018 tentang Reforma Agraria.
"Sisa waktu pemerintahan ini sebaiknya memaksimalkan mandate UUPA 1960 dan peran Perpres Reforma Agraria untuk menjawab tumpang tindih dan kebuntuan regulasi yang menghambat rakyat memperoleh pengakuan dan haknya atas tanah," pungkasnya.