Benarkah Kualitas Udara di Jakarta Terburuk Se-Asia Tenggara?

| 12 Mar 2019 18:07
Benarkah Kualitas Udara di Jakarta Terburuk Se-Asia Tenggara?
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kualitas udara menjadi salah satu masalah yang ada di Ibu Kota. Jakarta, menjadi salah satu kota yang disebut memiliki kualitas udara yang buruk. Greenpeace bahkan menempatkan Jakarta di urutan pertama kualitas udara terburuk di Asia Tenggara.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah tak sepakat dengan Greenpeace. Kata dia, kualitas udara di Jakarta sudah lebih baik dibanding rekaman data tahun lalu.

"Saya ingin menyampaikan udara Jakarta sebagian dari rekaman data 2018 itu memang tidak sehat, tetapi sebagian lagi 50 persennya bagus, dibanding kota se-Asia Tenggara kita tidak yang terburuk," kata Karliansyah dalam konferensi pers di Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLHK, Jakarta, dilansir Antara, Selasa (12/3/2019).

Dia menerangkan, sebagian besar kualitas udara buruk di Jakarta dipengaruhi oleh kendaraan bermotor dengan proporsi 60-70 persen.

Karliansyah mempertanyakan data Greenpeace hingga menyimpulkan Jakarta sebagai kota yang memiliki kualitas udara yang paling buruk di kawasan Asia Tenggara. Sebab, data KLHK tidak sama dengan Greenpeace.

 

"Kami mempertanyakan instrumennya apa? Karena kebetulan KLHK sudah punya jaringan pemantau udara yang real time continue, Air Quality Monitoring System (AQMS)," ujarnya.

Ditambahkannya, KLHK sudah memasang stasiun pemantau kualitas udara di 14 kota di Indonesia, tapi kalau digabungkan dengan milik Badan Meteorologi, Klimatologi dam Geofisika, pemerintah daerah dan swasta, maka ada total sekitar 50-an stasiun pemantau kualitas udara yang telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Dari rekaman data sepanjang 2018 di Jakarta, sambung Karliansyah, ada 196 hari yang kualitas udaranya tidak sehat dari total 365 hari setahun. Kemudian, ada 34 hari dengan kualitas udara baik, dan 122 hari tergolong kualitas udara sedang.

Sementara data kualitas udara di Jakarta dari Januari hingga akhir Februari 2019, ada 10 hari dengan kualitas udara tergolong baik, 38 hari dengan kualitas udara sedang, serta 11 hari dengan kualitas udara tidak sehat.

Untuk rata-rata tahunan PM 2.5 di Jakarta pada 2018 sebesar 34,57 mikrogram per meter kubik. Angka itu melampaui standar baku mutu nasional, dan standar WHO dengan 10 mikrogram per meter kubik.

Karliansyah mengatakan pada website aqicn.org yang menampilkan Indeks Kualitas Udara Real-time untuk lebih dari 60 negara di dunia oleh satu lembaga survei yang berbasis di Beijing, China, saat dipantau pada pukul 10.00 WIB, kualitas udara di Jakarta sebesar 57 mikrogram per meter kubik, jauh di bawah negara-negara lain, termasuk Filipina, dengan 140-an mikrogram per meter kubik, Jepang, Thailand dan China.

"Kalau di Asia Tenggara saya yakini bahwa dengan data kita itu kita masih bagus. Saya juga cermati untuk kota besar kota metropolitan pasti tidak ada kota yang mencapai angka 10 mikrogram ppm kecuali kota-kota kecil," ujarnya.

Bahaya buruknya kualitas udara

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pencemaran udara membunuh sekitar 600 ribu anak-anak tiap tahun dan menyebabkan gejala mulai dari kehilangan kecerdasan hingga kegemukan dan infeksi telinga. 

"Pencemaran udara meracuni jutaan anak-anak dan membahayakan kehidupan mereka," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataannya tahun lalu.

Asia, Afrika dan Amerika Latin masuk ke dalam wilayah yang paling buruk terkena dampak pencemaran udara.

Laporan WHO, yang berjudul Prescribing Clean Air, meringkas pengetahuan ilmiah terbaru mengenai dampak pencemaran udara pada anak-anak, yang berdampak pada sekitar 93 persen anak-anak di dunia.

Kepala faktor penentu lingkungan kesehatan WHO, Maria Neira mengatakan, penemuan-penemuan yang mengkhawatirkan tersebut disorot dalam penelitian ini, termasuk bukti polusi yang menyebabkan lahir prematur dan kematian pada bayi, serta sejumlah penyakit yang terbawa hingga dewasa.

"Bayangkan anak-anak kita akan memiliki IQ kognitif yang kurang. Kita berbicara tentang risiko yang akan dihadapi generasi baru yang punya IQ rendah. Ini tak hanya baru tetapi juga sangat mengagetkan." kata dia.

Selain itu, sudah ada bukti jelas tentang hubungan antara pencemaran udara lingkungan dan media otitis atau infeksi telinga. Menurut kajian ini juga, pencemaran udara dapat menyebabkan obesitas dan ketahanan insulin pada anak-anak. Kemudian, pencemaran udara juga menyebabkan kanker, asma, pneumonia, paru-paru yang tak berfungsi baik dan jenis-jenis infeksi pernafasan pada anak-anak. 

Rekomendasi