Elektabilitas paslon 01 itu dari yang sebelumnya mencapai 52,6 persen pada Oktober 2018 kini menjadi 49,2 persen pada Maret 2019. Selisih kedua kandidatpun otomatis menipis jadi 11,8 persen dengan tingkat undiceded voters sebesar 13,4 persen.
Berdasarkan survei itu, pengamat politik Ray Rangkuti bilang ada sejumlah faktor, yang menyebabkan hilangnya suara calon petahana sebesar tiga persen tersebut. Salah satunya adalah lemahnya koordinasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin. Enggak cuma itu, tingkat militansi dalam tim pemenangan itu dirasa berkurang.
Ray menganggap, TKN Jokowi-Ma'ruf enggak bisa ternyata menyolidkan suaranya sendiri di dalam partai koalisinya. Bahkan, Direktur Lembaga Lima Indonesia itu bilang, deklarasi yang seringkali dilakukan tidak ada hubungannya dengan tim pemenangan.
"Mereka nggak ada kaitan dengan TKN dan tidak berada di bawah TKN. Pengurus-pengurusnya juga bukan di bawah struktur TKN," kata Ray Rangkuti di Jakarta dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Ray bilang, harusnya tim pemenangan banyak bergerak ke akar rumput partai politik untuk menyolidkan suara dukungan paslon 01. Tak perlu, kata Ray, deklarasi dukungan sampai diurus oleh tim pemenangan. Soalnya, deklarasi cukup dikelola oleh relawan.
Dia juga bilang, angka 49,2 persen itu merupakan hasil kerja relawan yang terhubung dengan TKN. Tapi, TKN enggak optimal mengkonsolidasikan pemilih. Termasuk pemilih yang berasal dari die-hard parpol koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf.
"Itu sebabnya 01 ini sepertinya kehilangan 3 persen. Ini bukan soal untuk naik atau tidak naik, tapi berpindahnya pemilih dari 01 ke tengah atau malah ke 02."
Hilangnya tiga persen suara paslon 01 dari hasil survei Litbang Kompas, disebut pengamat ini, juga karena turunnya semangat reformasi di tubuh kubu paslon 01. Kubu petahana, disebut Ray, fokus dengan keberhasilan tapi lupa menyelesaikan masalah lain yang harus diselesaikan.
Ini berbeda dengan tahun 2014 yang lalu. Kata Ray, pada pemilu 2014 lalu banyak tema reformasi atau perbaikan yang digelorakan oleh Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. "Ini yang cenderung hilang yang tergantikan dengan suara keberhasilan," tegas Ray.
Rasa tak nyaman juga disebut dia, menurunkan suara elektabilitas Jokowi-Ma'ruf. Rasa tak nyaman ini, disebut Ray, muncul di kalangan aktifis dan cendekiawan. Kata dia, rasa tak nyaman ini muncul karena ada penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap aktifis salah satunya adalah Robertus Robert.
Apalagi, para pemilih ini sebenarnya sebenarnya berharap memilih paslon 01 Jokowi-Ma'ruf semakin menjamin kebebasan bersuara, berpikir, dan mengemukakan pendapat yang lebih besar. Tapi, dengan adanya penangkapan aktifis yang beberapa kali terjadi malah membuat harapan itu hilang. "Orang nggak bisa lagi kritik presiden, orang nggak bisa lagi kritik polisi dan orang nggak bisa lagi kritik TNI."
Lebih jauh, Ray mengatakan, hal inilah yang membuat angka golput bisa terpiluh. Soalnya, pemilih kemungkinan enggan memberikan dukungan ke lawan politik Jokowi lantaran nuansa orde baru tapi disaat yang sama masyarakat ogah memilih Jokowi karena ada nuansa yang sama akibat penangkapan-penangkapan tersebut.
"Banyak juga kasus yang sudah ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka tapi kasus nggak pernah sampai pengadilan," tutupnya.