Peneliti dari Australian National University, Edward Aspinal menjelaskan, politik uang yang dilakukan para politikus di musim pemilu akan menimbulkan beban ekonomi bagi para politikus itu, apalagi jika mereka terpilih.
"Struktur ekonomi sangat berpotensi terdampak politik transaksional ini," kata Edward di ITS Tower, Jakarta, dalam seminar bertajuk Politik Uang dalam Pemilu 2019.
Sebagai contoh, apabila seorang politisi melakukan politik transaksional pada pemilu dan terpilih, maka mereka memiliki peranan besar dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Padahal, kata dia, apabila para politisi mengeluarkan uang dalam jumlah besar saat pemilu, maka mereka akan berusaha mengembalikan modal dengan berbagai praktik atau kegiatan setelah terpilih sebagai wakil rakyat.
Hal tersebut pada umumnya bermuara pada praktik korupsi. Tindakan ini dilakukan oleh sejumlah politisi karena melakukan politik transaksional kepada masyarakat saat pemilu.
"Dengan kata lain, mereka berusaha balik modal, namun dengan cara yang salah," kata dia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Edward, pada umumnya politik uang lebih banyak menyasar kepada masyarakat kategori ekonomi menengah ke bawah.
Sementara itu, peneliti KITLV, Ward Berenschot berpendapat bahwa tingkat politik uang tertinggi tidak terjadi di masyarakat ekonomi menengah ke bawah, khususnya di Indonesia.
"Jika ada lembaga swadaya masyarakat yang mandiri serta media massa yang mandiri dan cukup kritis, maka tingkat politik uangnya tidak terlalu tinggi," kata dia.
Namun di tiga negara yaitu Argentina, India dan Indonesia, praktik uang masih sering ditemukan berdasarkan hasil penelitian.
Ia berpendapat apabila garis kemiskinan turun, maka tidak ada jaminan politik uang akan berhenti di suatu negara.
Salah satu upaya yang dapat memutus mata rantai politik uang yaitu dengan menggabungkan seluruh pemilihan menjadi satu kegiatan sehingga lebih menghemat biaya pemilu.