"Oleh karena itu tidak dapat dibatalkan dan berlakulah asas presumptio justae causa (setiap tindakan administrasi selalu dianggap sah menurut hukum, sehingga dapat dilaksanakan seketika sebelum dapat dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim yang berwenang sebagai keputusan yang melawan hukum)," kata Sofyan kepada era.id melalui pesan singkat.
Sofyan mengatakan, keputusan penerbitan HGB atas Hak Pengelolaan (HPL) oleh Pemprov DKI Jakarta telah sesuai dengan administrasi pertanahan yang berlaku. Lebih lanjut lagi, jika Pemprov DKI Jakarta tidak sependapat dengan Kementerian ATR/BPN, maka disarankan menempuh jalur gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.
"Apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewzjde), kami akan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku," lanjutnya.
Aturan pembatalan HGB tertera dalam Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) No. 45/Kamal Muara. Di situ, kata Sofyan, tertulis peralihan hak dan pembebanan yang bersifat turunan dari peraturan harus disetujui pemegang HPL, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.
Berbeda dengan Pulau C, Sofyan mengungkapkan sertifikat HPL No. 46/Kamal Muara telah diterbitkan pada 18 Agustus 2017. Pulau C, seluas 1.093.580 m2 tercacat atas nama Pemrov DKI. Sementara untuk Pulau G, Kementrian ATR dan BPN masih menunggu persetujuan Pemprov DKI untuk melakukan administrasi pertanahan terkait HPL dan HGB.
Pada Selasa (9/1), beredar surat permohonan pembatalan sertifikat tiga pulau reklamasi dari Pemprov DKI kepada BPN. Dalam surat itu, Pemprov DKI meminta agar BPN menunda penerbitan sertifikat HGB, bagi Pulau C dan G yang tak memiliki HGB. Sementara pulau D sudah memiliki HGB.
Dalam lampiran yang diterima era.id, surat bernomor 2373/-1.794.2 tersebut telah dibubuhi tanda tangan Anies pada 29 Desember 2017. Disebutkan, alasan Anies meminta pembatalan HGB karena Pemprov DKI tengah melakukan kajian mendalam mengenai reklamasi.
Pemprov menilai, kajian tersebut perlu dilakukan. Berdasarkan, kajian dari ahli dan pemangku kepentingan lainnya terkait reklamasi pantai utara. "Sejauh ini telah ditemukan dampak buruk dari kebijakan ini (reklamasi) dan dugaan cacat prosedur dalam pelaksanaan reklamasi," tulis surat edaran yang diterima era.id.
Pemrov DKI Jakarta menunggu
Langkah lanjutan setelah pembatalan HGB untuk Pulau C, D dan G belum dikantongi Pemprov DKI. Anies mengaku belum mendapat surat balasan perihal sikap Kementerian ATR/BPN atas tiga pulau reklamasi. Menurutnya, konfrensi pers yang telah digelar Kementrian ATR dan BPN tidaklah cukup.
"Kami masih menunggu surat jawaban dari BPN. Jadi kalau sudah ada jawaban dari BPN baru nanti, kemudian kita tentukan langkah selanjutnya. Saat ini kita masih nunggu surat balasan dari BPN," kata Anies di ruang Pola Gedung G, Balai Kota DKI, Kamis (11/1/2018).
Anies menjabarkan, kejanggalan atau cacat hukum dalam penerbitan HGB menjadi alasan dia mengirim surat kepada BPN. Dia menilai, pembatalan sertifikat HGB telah sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam peraturan itu, pembatalan dapat dilakukan oleh menteri terkait. Selanjutnya menteri dapat melimpahkan kewenangan kepada kepala kantor wilayah, kepala kantor pertanahan dan pejabat yang ditunjuk. "Jadi mengikuti peraturan menteri, apabila ada masalah dalam aspek administratif maka pejabat yang berwenang bisa mengajukan (permohonan pembatalan HGB) ke BPN," tutup Anies.
Berikut infografis yang dirangkum tim era.id tentang pernyataan Kementerian ATR/BPN ke Pemprov DKI Jakarta: