Mitra Ojek Daring Butuh Perlindungan Ketenagakerjaan

| 13 Apr 2019 12:39
Mitra Ojek Daring Butuh Perlindungan Ketenagakerjaan
Ojek online (Anto/era.id)
Jakarta, era.id – Setiap pekerja sejatinya wajib mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. Termasuk para pekerja informal yang terkoneksi dengan dunia digital seperti mitra pengemudi ojek online atau ojek dalam jaringan (daring).

Anggota Komisi IX DPR RI Marinus Gea menilai, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur perlindungan atas hal-hal yang terkait dunia digital. Karena itu, dia mendorong ada perbaikan untuk masalah ini.

"Contoh paling dekat itu ya mitra ojek online. Mereka kan kategori tenaga informal dan mereka juga melakukan pekerjaan dengan teknologi. Bagaimana dengan perlindungan mereka, sampai sekarang sama sekali belum ada pengaturan ini di regulasi," kata Marinus, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

UU Ketenagakerjaan yang berlaku, kata Marinus, masih sebatas mengatur tenaga kerja yang mendapatkan pekerjaan dari pemberi kerja. Regulasi yang ada belum menampung perlindungan bagi mereka yang melakukan pekerjaan secara mandiri tapi tetap terhubung dengan orang lain.

"Mitra ojek online kan tetap terhubung dengan orang lain yang mengendalikan aplikasi digital. Kan ini tidak diatur, bagaimana jika terjadi kecelakaan. Perlindungan apa yang diberikan negara buat mereka," ungkap politikus PDI Perjuangan ini.

Kata Marinus, keberadaan regulasi ketenagakerjaan yang mengikuti perkembangan teknologi menjadi penting lantaran selama ini tak semua tenaga kerja informal menyadari pentingnya perlindungan asuransi.

"Katakan lah BPJS Ketenagakerjaan, belum semua pihak sadar kalau BPJS itu suatu keharusan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi yang bekerja secara formal maupun informal," ucapnya.

Oleh karena itu, agar perlindungan bagi seluruh tenaga kerja tercipta dalam regulasi ketenagakerjaan, Marinus ingin semua pihak terkait mau mengikis ego sektoral. Masalahnya, meski aplikasi ojek online telah hadir empat atau lima tahun terakhir, tapi perbaikan regulasi belum bisa diwujudkan.

"Banyak sekali persoalan-persoalan lain yang masih dianggap lebih prioritas sehingga hal ini masih belum ditanggapi serius. Di Indonesia kan biasanya, terjadi dulu persoalan baru dipikirkan undang-undangnya," kata dia.

Rekomendasi