Pramono menjelaskan, beban pekerjaan durasi waktu yang diemban oleh KPPS berasal dari bunyi pasal yang diatur dalam Pasal 383 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa penghitungan suara hanya dilakukan selesai di TPS atau TPS LN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara, ditambah dari keputusan MK yang menyatakan boleh dilanjutkan 12 jam pada hari berikutnya.
"Jadi, memang konstruk UU Pemilu mengharuskan teman-teman KPPS menyelesaikan pekerjaan itu, walaupun sampai malam, itu langsung, tidak boleh ada istirahat (tidur) dulu," kata Pramono di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2019).
Pramono melanjutkan, selama UU Pemilu belum direvisi atau disusun ulang, tentu tidak bisa sembarang itu membagi jam kerja para KPPS.
"Dari konstruksi UU itu tidak dimungkinkan, kecuali kalau nanti dipikirkan konstruksi seperti ini yang dievaluasi, lalu kemudian beban pekerjaannya," ucap dia.
Sebelumnya, Sejumlah dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) memberikan analisa kebijakan ringkas atau policy brief kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
FKUI merekomendasikan KPU jika memang sistem Pemilu serentak tetap diterapkan pada Pemilu selanjutnya setidaknya harus ada menajemen kerja paruh waktu atau shifting bagi petugas KPPS.
FKUI juga merekomendasikan agar memberikan jaminan kesehatan bagi para petugas dengan melibatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.