Ketakutan masyarakat untuk membicarakan politik dan berserikat atau berorganisasi menjadi meningkat setelah kejadian kerusuhan tersebut. Hasil temuan SMRC, saat ini ada 43 persen masyarakat yang takut untuk berbicara masalah politik. 51 persen tidak merasa takut berbicara soal politik, dan tujuh persen tidak menjawab.
"Meski lebih sedikit dari yang menjawab tidak takut, namun tren ketakutan masyarakat meningkat dari musim Pemilu tahun 2014 dan 2009," ucap Direktur Program SMRC Sirojuddin Abbas dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/6/2019).
Berdasarkan data SMRC, orang yang takut bicara soal politik pada tahun 2009 sebanyak 16 persen. Meningkat sedikit dibandung tahun 2014 menjadi 17 persen, dan melesat pada tahun 2019 menjadi 43 persen.
Tak hanya itu, ketakutan masyarakat untuk berorganisasi juga meningkat pada tahun ini. Ada 21 persen masyarakat yang takut untuk ikut organisasi dan berserikat, 69 persen tidak merasa takut berorganisasi, dan 11 persen tidak menjawab.
Abbas bilang, ada beberapa faktor yang memengaruhi kenaikan ketakutan pasca kerusuhan 21-22 Mei tersebut. Keterbukaan informasi yang kian berkembang, baik di media massa maupun media sosial menjadi sebabnya.
"Semakin terbukanya informasi di media daring, kita jadi tahu siapa-siapa saja yang berkomentar, dan jika mereka melanggar undang-undang ITE, aparat langsung menindak. Itulah yang mengakibatkan masyarakat jadi takut untuk berbicara politik," ucap dia.
Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka pada pada warga yang berusia 17 tahun atau lebih atau yang sudah menikah dalam rentang waktu 20 Mei-1 Juni 2019. Metode survei menggunakan multistage random sampling dengan 1.220 responden. Namun responden yang dapat diwawancarai secara valid 1078 atau 88 persen. Margin of error kurang lebih 3,05 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.