Sera memutuskan mencari keyakinannya sendiri sejak kepergian sang ibu pada 2013 silam, sekitar tiga tahun setelah dirinya duduk di bangku kuliah. Pencarian itu dijalani Sera selama satu tahun, sebelum ia mantap mengubah haluan beragamanya, dari Islam ke Kristen pada 2014. Tahun ini, jadi tahun kelima Sera menjalani kehidupan sebagai Nasrani.
Jauh sebelum itu, Sera yang lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali, sejatinya telah lama bersentuhan dengan banyak ajaran Agama, bahkan sebelum ia memutuskan bergeser untuk kuliah di Yogyakarta pada 2011. Sejak sekolah dasar (SD), Sera hidup di lingkungan dengan latar belakang ajaran agama berbeda. Ketertarikan mendalami ajaran Kristen pun telah muncul sejak itu.
Meski begitu, Sera sadar, memilih agama bukan perkara main-main, bahwa ia tak mungkin mengambil keputusan apapun di usianya saat itu. "Tapi (saat SD) masih kecil, masih labil ... Mungkin setelah itu (meninggalnya sang ibu) saya mulai mencari jati diri saya," tutur Sera menceritakan pengalamannya kepada era.id beberapa waktu lalu.
Kepada kami, Sera menuturkan alasannya memeluk agama Kristen. Memang, Sera belum sepenuhnya memahami ajaran Kristen. Yang jelas, ia mengaku menemukan kedamaian sejak mendalami ajaran Kristen. Tahun ini, Sera berencana akan dibaptis, sebelum melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya yang beragama Nasrani.
"Karena ajaran kasih. Saya merasakan damai sejahtera sekarang selama mengenal dan memilih keyakinan ini ... Saling mengampuni untuk menyembuhkan luka batin," tutur Sera.
Jika perjalanan hidup memantapkan Sera memilih Kristen sebagai keyakinannya, Risa --nama samaran-- menempuh proses spiritual sebelum menemukan jalan menuju Islam. Risa adalah seorang Nasrani yang hidup di antara orang-orang yang memeluk Islam. Ketertarikannya pada ajaran Islam bahkan tumbuh sejak ia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Lingkungan membangun keimanan Risa terhadap Islam. Sejak taman kanak-kanak hingga SD, bahkan SMP, Risa kesulitan memperoleh pendidikan agama yang sesuai dengan latar belakangnya. Tanpa paksaan, Risa kecil yang saat itu duduk di bangku SMP bahkan sempat mengomunikasikan getaran di dalam dirinya kepada orang-orang terdekat, termasuk orang tua.
Namun, usia Risa saat itu dianggap belum matang, sehingga keinginannya memeluk Islam tak langsung direstui kedua orang tuanya. "Enggak ada guru yang bisa ngajar agama Kristen, lalu aku ikutnya agama Islam, ujiannya pun agama Islam. Ditambah aku tumbuh di lingkungan yang Islamnya taat. Eyangku haji," tutur Risa.
Belakangan, Risa menemukan kekasih hati yang memeluk agama Islam. Pertemuan itu memantapkan keputusan Risa untuk memeluk agama Islam. Keduanya lantas menikah. "Aku lebih 'kenal' Allah daripada Yesus, dan kebetulan ketemu calon suami Islam, yowis aku mantap masuk Islam," tuturnya.
Konversi agama dalam ilmu sosial
Dalam buku berjudul Sosiologi Agama, Hendropuspito mengklasifikasi empat faktor yang dapat menjelaskan terjadinya konversi agama dalam diri seseorang, sebagaimana yang dialami Sera, Risa, maupun banyak orang lain di dunia ini.
Faktor pertama adalah Ketuhanan atau Ilahi. Dalam buku ini disebutkan, biar bagaimanapun, keyakinan adalah perasaan yang bersifat radikal. Dan sesuatu yang bersifat radikal tidak akan pernah bisa diterima seseorang tanpa pengaruh khusus dari Tuhan.
Dari segi kehidupan bersosial, konversi agama adalah proses beralihnya seseorang ke kehidupan yang baru. Dalam kondisi seperti itu, manusia tak akan sanggup melewati masa tersebut tanpa bantuan Tuhan.
Dengan kata lain, faktor pertama menjelaskan bagaimana konversi agama dapat muncul dari hidayah, ilham, petunjuk, atau apapun bahasa yang dapat menggambarkan interaksi spiritual tertinggi antara Tuhan dan ciptaan-Nya ini.
Faktor kedua adalah pendidikan. Dalam literatur ilmu sosial, pendidikan memainkan peran kuat dalam terbentuknya disposisi religius. Dalam hal ini, disposisi religius berpengaruh amat kuat pada kaum wanita ketimbang pria.
Dua faktor terakhir dalam kajian Hendropuspito adalah faktor psikologi dan pengaruh sosial. Dua faktor ini diketahui berkaitan, bahwa konversi agama kerap dipicu oleh kebutuhan seseorang bebas dari tekanan batin --biasanya dicari lewat jalan spiritual (agama)-- yang biasanya muncul dari lingkungan sosial.
"Sistem pendidikan lewat persekolahan termasuk faktor pendorong masuk agama," tulis Hendropuspito.
Yang terjadi pada Sera dan Risa
Dari keempat faktor yang dijabarkan di atas, alasan psikologis jadi hal menarik untuk direnungi. Dalam kasus Sera, faktor ini ia rasakan begitu nyata. Hidup di Pulau Dewata sebagai pemeluk Islam adalah hal yang baik-baik saja, hingga kasus bom Bali pada 2006 silam, ketika sekelompok teroris memelintir ajaran Islam yang penuh damai dan cinta menjadi seakan-akan penuh teror dan kebencian.
Pembingkaian yang dilakukan para teroris itu sedikit banyak memengaruhi kehidupan Sera. Ia ketika itu masih duduk di bangku SD, ketika teman-teman sebayanya menyinggung ajaran Islam --yang disesatkan para teroris-- dengan kejadian bom Bali itu. "Banyak rundungan dan ejekan dari teman sekolah ... Padahal yang berbuat itu orangnya bukan agamanya," tutur Sera.
Meski begitu, Sera tetap tumbuh, meski membawa sedikit trauma soal islamofobia yang muncul pasca-bom Bali. Sera bahkan menegaskan trauma masa kecilnya tak banyak memengaruhi keputusannya memeluk Kristen. Sera sadar betul, semua agama mengajarkan kebaikan. Bahwa yang ia alami semasa kecil adalah buah dari kelakuan para teroris yang jelas hanya mengenakan topeng agama dalam aksinya.
Dikaitkan dengan kajian yang Hendropuspito tulis dalam bukunya, kejadian masa kecil Sera dapat menjelaskan bagaimana faktor psikologis dapat memicu konversi agama. Memang, hal itu tak serta merta terjadi pada Sera. Namun, secara umum, tekanan yang terjadi pada Sera kecil kerap dialami banyak orang yang kemudian memutuskan untuk mencari jalan keluar dari tekanan itu dengan berpindah keyakinan.
"Perasaan ini didorong dari rasa terlempar dari kehidupan kelompoknya yang membuat dirinya merasa sebatang kara. Selain itu, faktor perceraian yang mengakibatkan seseorang menjadi janda atau duda, meninggalkan sekolah, dan soal rencana pernikahan dengan pihak yang beragama lain," ditulis Hendro.
Sementara itu, jika menilik cerita Risa, faktor pendidikan jadi hal yang barangkali berpengaruh sangat besar dalam kehidupan beragama Risa. Hal itu dapat dikorelasikan dengan penuturan Risa, bahwa sejak duduk di kursi TK hingga SD, dirinya mau tidak mau mempelajari agama Islam. Proses itu membuat Risa mengenal ajaran Islam ketimbang ajaran Kristen, agama yang saat itu ia anut.
Tentu saja ini hanya analisa kami. Sebab, pergolakan itu sejatinya hanya bisa dirasakan di lubuk hati terdalam Sera maupun Risa. Bagaimanapun, hubungan spiritual di dalam diri keduanya telah membangun keyakinan yang maha personal dan sangat penting untuk dihargai.