Besaran ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2000. Pasal 8 berbunyi, biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan, dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Berarti, tunjangan operasional ini berada di luar gaji pokok Anies sebagai kepala daerah provinsi sebesar Rp3 juta dan tunjangan jabatan sebesar Rp5,4 juta tiap bulan.
Semua jabatan kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati beserta para wakilnya sebenarnya memang mendapat tunjangan operasional. Namun, bedanya saat ini Anies menerima tunjangan tersebut sendirian. Mengingat, belum ada Wakil Gubernur DKI yang baru.
Pada tahun 2018, Anies dan wakilnya, Sandiaga Uno mengambil 0,13 persen tunjangan operasional dari PAD 2018 Rp43,33 trilliun atau sekitar Rp56,32 miliar setahun.
"Skemanya, 60 persen untuk gubernur, 40 persen untuk wakil gubernur. Jadi, dana tersebut dibagi 12 karena mengambilnya setiap bulan," kata Kepala Biro Kepala Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri DKI Jakarta, Mawardi saat dihubungi era.id, Jumat (23/8/2019).
Nah, sejak peninggalan Sandiaga pada Agustus 2018, sisa empat bulan tunjangan operasional dari Rp56 miliar yang semestinya dibagi dua oleh wakil gubernur, menjadi hak Anies hingga akhir tahun.
"Ada aturan apabila wakil gubernur tidak ada, gubernur dapat memanfaatkan itu. Ketika ada wakil gubernur, mereka pasti rundingan," kata dia.
Lanjut ke tahun 2019. Mawardi bilang Anies mengambil 0,10 persen dari PAD. Hitungannya, jika PAD yang disahkan tahun 2019 adalah Rp74,99 triliun, Anies mengambil tunjangan operasional Rp74,99 miliar setahun.
"Tahun 2019 ini Pak Gubernur hanya mengambil 0,10 persen dari PAD," ungkap dia.
Mengambil kesempatan dalam kesempitan
Ada nilai politis yang ditangkap oleh pengamat politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, dari pemanfaatan tunjangan operasional Anies yang tidak memiliki wakil gubernur.
"Gubernur memiliki poin tersendiri mengambil keuntungan ekonomis dari hal itu. Akhirnya apa, menjadikan wakil gubernur yang kosong terlunta-lunta. Dia merasa lebih enak sendirian saja," kata Ujang kepada era.id.
Ujang menyayangkan sikap Anies yang tidak mendesak proses pemilihan wagub meski sudah molor setahun. Padahal, dua partai pengusung Anies dan Sandi saat Pilgub 2017 lalu, PKS dan Gerindra, sudah mengajukan dua nama untuk menjadi cawagub yakni Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu.
Meskipun Ujang tahu, Anies tidak memiliki hak intervensi atas proses ini karena terganjal Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam aturan itu, pengisian wakil gubernur dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Tapi, Anies sebenarnya sudah disarankan oleh Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Bestari Barus untuk membuat surat kepada pimpinan dewan untuk meminta percepatan proses pemilihan dengan menyertakan sejumlah urgensi kebutuhan wagub. Namun, hal itu tidak dilakukan Anies.
Ujang bilang, secara etika mestinya Anies enggak boleh membiarkan proses ini semakin berlarut. Mengingat, masyarakat Jakarta butuh wakil gubernur untuk membantu merealisasikan janji kampanye mereka.
"Oleh karena itu, warga DKI mesti menuntut ini semua, mengkritik dan memberi masukan agar wakil gubernur tidak lagi kosong sehingga ada sinergi lebih antara gubernur dan wakil gubernur untuk melakukan pembangunan," pungkasnya.