DPR yang Keukeuh Hadapi Gelombang Penolakan RKUHP

| 20 Sep 2019 08:35
DPR yang <i>Keukeuh</i> Hadapi Gelombang Penolakan RKUHP
Ilustrasi rapat tertutup DPR (mery/era.id)
Jakarta, era.id - Penolakan demi penolakan dari masyarakat yang mendesak DPR agar tidak mengesahkan RKUHP, terus bergulir. Mereka khawatir penerapan dan konteks RKUHP akan tidak sesuai dengan masyarakat saat ini. 

Namun faktanya, aspirasi masyarakat tidak digubris oleh anggota dewan yang tergabung dalam Pansus RKUHP. Bahkan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM sudah sepakat dengan DPR untuk mengesahkan RKUHP dalam rapat Paripurna.

Hal itu membuat sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR RI, Kamis (19/9) kemarin. Mereka menolak proses pengesahan RKUHP oleh DPR, yang dinilainya berisi banyak pasal pemidanaan yang tidak jelas.

"Adanya wacana untuk akhirnya mengesahkan RKHUP, yang padahal pasal-pasal di dalamnya masih ngawur. Banyak yang masih bermasalah mulai dari permasalahan korupsi itu sendiri, kemudian demokrasi yang paling kita soroti. Dua hal tersebut justru malah membuat mosi tidak percaya kita pada negara," ujar Ketua BEM UI, Manik Marganamahendra.

Manik menjelaskan, demonstrasi kali ini sebagai puncak kemarahan mahasiswa yang kemungkinan akan disusul dengan aksi-aksi lanjutan. Bahkan, di media massa Twitter, tagar #MahasiswaBergerak masuk dalam topik trending pertama.

Tak hanya itu, petisi agar Presiden Joko Widodo menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di rapat paripurna DPR RI juga terus bertambah dukungan.

Hingga hari ini, Jumat (20/9), pukul 06.14 WIB, petisi yang diunggah di change.org dengan judul 'Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR' serta #SEMUABISAKENA itu sudah diteken oleh lebih 410 ribu orang.

Penggagas pertisi adalah Aktivis gender dan HAM, Tunggal Pawestri. Ia menegaskan, ada 11 poin di RKUHP yang tidak pasti dan berpotensi memunculkan kriminalisasi terhadap masyarakat dengan ancaman hukuman denda dan penjara.

Beberapa dari mereka yang berpotensi dianggap kriminal lewat RKUHP adalah korban perkosaan, perempuan yang kerja dan harus pulang malam, perempuan yang mencari roommate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya, dan pengamen.

Selain itu, mereka yang bisa dianggap kriminal adalah tukang parkir, gelandangan, disabilitas mental yang ditelantarkan, jurnalis atau netizen yang mengkritik presiden, orang tua yang menunjukkan kondom, anak yang diadukan berzina oleh orang tua, hingga mereka yang melanggar 'hukum adat yang hidup di masyarakat'.

Petisi ini yakin masih ada satu langkah lagi untuk mencegah pengesahan RKUHP ini, yakni di rapat Paripurna DPR RI. Selaim itu, isinya juga mengajak masyarakat agar tidak cuek karena jika disahkan lewat paripurna, siapa saja bisa dengan mudah dipenjara.

"Yuk kita minta Presiden untuk tidak menyetujui RKUHP dalam sidang paripurna pengesahannya! Sekarang nih kita nggak bisa cuek-cuek lagi. Karena siapa aja bisa dipenjara. Saya, kamu, keluarga kita, temen-temen kita, gebetan kita. #SEMUABISAKENA," isi petisi.

 

Meski terus muncul penolakan, Anggota Komisi III Arsul Sani mengklaim, bahwa RKUHP sudah disesuaikan dengan kultur dan filsafat hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan, ia mengklaim, sudah menyerap aspirasi berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan revisi peraturan tersebut.

"Ini menyangkut filosofi berpikir, paradigma berpikir, filsafat hukum dan juga kultur hukum yang berbeda. Kalau seperti saya dan teman-teman itu yang belajarnya hukum barat, pasti akan mengatakan demikian (masuk ranah privat). Tapi kita ini hidup di Indonesia, yang aspirasinya juga banyak dan berbeda," ucap Arsul, di Gedung DPR, Kompleks Parlemem, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9).

Arsul menjelaskan konsepsi kejahatan tanpa korban atau victim less crime dalam kebiasaan orang timur, khususnya di Indonesia tak bisa hanya berfokus pada individu. Berbeda halnya dengan kebiasaan barat yang dilekatkan pada individu.

Melihat hal itu, Arsul menegaskan, bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia dengan orang barat sangat berbeda. Perbedaan kebiasaan itulah yang lantas diterjemahkan ke dalam RKUHP.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah dan DPR sudah menyepakati RKUHP akan dibawa ke dalam rapat Paripurna terdekat.

"Sudah diselesaikan dalam pembicaraan tingkat 1. Mudah-mudahan rencananya mau dibawa ke paripurna tanggal 24 September," kata Yasonna.

Yasonna juga mengaku, lega pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) akhirnya rampung dan tinggal menunggu persetujuan anggota DPR dalam sidang paripurna. Karena pembahasan revisi KUHP dilakukan dalam waktu yang cukup lama.

Tags :
Rekomendasi