Pembenaran Menkumham Terkait RKUHP yang Tertunda

| 21 Sep 2019 06:22
Pembenaran Menkumham Terkait RKUHP yang Tertunda
Konferensi pers Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yassona Laoly (Wardhany/era.id)
Jakarta, era.id - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly angkat bicara soal Rancangan KUHP (RKUHP) yang akhir-akhir menjadi polemik. Sebabnya, beberapa pasal dianggap meresahkan karena tidak sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Dalam sebuah konferensi pers, Yasonna kemudian memaparkan sebuah pembenaran versi pemerintah terkait RKUHP tersebut. Menurutnya, ada kesalahan persepsi di dalam pemberitaan terkait RKUHP dan di media sosial.

Bahkan, Yasonna menyinggung salah satu media asing yang menyebut jutaan orang masyarakat Indonesia akan dipenjara bila RKUHP itu disahkan oleh anggota DPR RI. Dengan nada suara yang meninggi, Yasonna membantah hal ini bakal terjadi.

"Millions of people will be jailed, 250 ribu lapas saja kita mabuk urusnya, apalagi jutaan orang. I don't think we can do that," kata Yasonna dalam konferensi pers di Graha Pengayoman Gedung Kemenkumham, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).

Di sisi lain Yasonna menyadari, banyak pihak dan elemen masyarakat yang salah memahami konteks perubahan dalam RKUHP dikarenakan minimnya proses sosialisasi. Sehingga terkesan tertutup rapat.

Padahal diakuinya, selama empat tahun terakhir pemerintah dalam pembahasan soal RKUHP sudah dilakukan secara terbuka. Apalagi pembahasannya sudah melibatkan lembaga-lembaga lain. "Setiap ada perdebatan, dari pakar dari apa kami undang. Dari Komnas HAM, KPK, dari mana-mana kami undang," kata Yasonna.

Hal itulah yang kemudian luput dari pemberitaan media. Sehingga ketika mulai ramai diberitakan, banyak yang kaget dan salah memahami RKUHP saat ini ketika membaca kembali draf RKUHP lama. 

Yasonna juga tidak tutup mata dan telinganya, ketika melihat gejolak penolakan di masyarakat terhadap RKUHP. Hingga Presiden Joko Widodo telah meminta agar pengesahan RKUHP ditunda, dengan catatan ada 14 pasal yang perlu dikaji ulang.

 

Yasonna dalam penjelasannya, mengatakan pasal yang dikaji ulang adalah pasal yang banyak disalahartikan oleh masyarakat. Mulai dari Pasal 219 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 278 tentang pembiaran unggas, Pasal 414 tentang mempertunjukan alat kontrasepsi, Pasal 417 tentang perzinahan, Pasal 418 tentang kohabitasi, Pasal 432 tentang penggelandangan, Pasal 470 tentang aborsi, dan Pasal 604 tentang tindak pidana korupsi.

Sebagai contoh Pasal 431 RKUHP misalnya, yang menjelaskan soal pemidanaan bagi gelandangan. Pasal ini menuai kontroversi lantaran dalam Pasal 49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp1 juta. Di pasal itu disebutkan "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I," kutip dari draft RKUHP pembaharuan 15 September 2019.

Yasonna menjelaskan, maksud dari pasal penggelandangan ini sejatinya sudah diatur dalam KUHP yang saat ini berlaku. Bahkan dalam KUHP lama menerapkan pidana kurungan. Pasal 505 Ayat (1) KUHP berbunyi, 'Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan'.

"Pengemis ada di KUHP. Kita atur justru kita mudahkan, kita kurangi hukumannya," kata Yasonna.

Dalam RKUHP, Yasonna mengatakan kaum papa ini akan tidak serta merta ditangkap atau didenda begitu saja. Sebab hakim bisa mengeluarkan keputusan untuk dimasukkan dalam pelatihan agar dapat bekerja. Hal ini justru berbeda dengan KUHP lama yang mengatur pidana penjara.

"Dimungkinkan dengan hukuman kerja, ditangkap gelandangannya disuruh bekerja oleh hakim. Ini kalau dalam hukum Belanda itu perampasan kemerdekaan penjara, kalau dalam KUHP sekarang gelandangan itu ditangkap dimasukkan dipidana, diambil kemerdekaannya. Kalau ini tidak, disuruh kerja pengawasan kerja sosial. Tujuannya demikian," jelasnya.

Kumpul Kebo Tak Asal Dipidanakan

Poin lainnya yang menjadi kontroversi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah Pasal Kohabitasi atau 'Kumpul Kebo'. Pasal 418 itu berbunyi 'Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak kategori II'.

Menurut Yasonna pasal tersebut merupakan delik aduan. Alhasil tidak sembarangan orang bisa membuat laporan terkait 'kumpul kebo'. Sama halnya dengan delik yang mengatur masalah perzinahan. 

"Yang berhak mengadukannya dibatasi. Hanya suami, istri, anak, dan orang tua. Jadi kalaupun dilakukan oleh pejabat desa, itu harus dengan izin tertulis orang tua, anak, istri, dan pengaduan dapat ditarik oleh yang bersangkutan," jelasnya. 

"Pengaduan dapat ditarik dan itu hukumannya 6 bulan jadi tidak bisa langsung ditahan. Jadi 6 bulan atau denda," imbuh Yasonna.

Yasonna menyayangkan banyaknya misinterpretasi terhadap RKUHP ini. Bahkan Australia mengeluarkan peringatan perjalanan (Travel warning) bagi warganya karena RKUHP. Kepada Yasonna, Duta Besar Australia mengatakan khawatir adanya kesalahpahaman ketika warganya ada di Indonesia.

Ia mencontohkan ketika ada warga asing melakukan kohabitasi di Bali. Jika dilaporkan oleh pihak setempat, maka mereka membutuhkan persetujuan dari orang tua atau orang dekat terkait.

"Jadi seolah-olah negara kita ini akan menangkapi semua orang. Seenak udelnya sampai jutaan orang akan masuk penjara hanya karena kohabitasi. Itu hanya mungkin terjadi kan delik aduan," kata Yasonna.

Aborsi

Yasonna sadar dengan polemik yang ditimbulkan dari sejumlah pasal dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap kontroversial, salah satunya aborsi. Namun dalam kasus itu Yasonna menyebut hukuman dalam RKUHP justru lebih ringan ketimbang yang telah diatur dalam KUHP.

Di mana Pasal 470 RKUHP menyebutkan 'Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun'. Sedangkan ancaman hukuman untuk pelaku aborsi sudah tertuang dalam Pasal 347 (1) KUHP saat ini dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Menurut Yasonna RKUHP disusun guna merespons kehidupan sosial yang sudah berubah. Atas dasar itulah, untuk ancaman pidana aborsi di RKUHP lebih ringan dibanding KUHP, yakni maksimal lima tahun pidana.

Ia juga menyatakan bahwa pemidanaan tidak berlaku bagi pelaku aborsi korban pemerkosaan. "Seorang perempuan yang diperkosa, oleh karena dia tidak menginginkan janinnya dalam tahapan terminasi tertentu dapat dilakukan (aborsi). Karena alasan medik mengancam jiwa misalnya," katanya.

Yasonna menyatakan bahwa pasal mengenai aborsi ini juga telah diatur dalam UU Kesehatan. RKUHP, kata Yasonna merupakan pembukuan dari jenis-jenis hukum tertentu menjadi satu kitab atau kodifikasi dari UU yang ada. Atas dasar itu, Yasonna membantah RKUHP akan mengkriminalisasi perempuan korban pemerkosaan.

"Tidak, seolah-olah kita ciptakan ini seolah langit akan runtuh dan kita akan menangkapi semua orang. Ini saya perlu klarifikasi," tegasnya.

Begitu pula dengan maksud dari hukuman bagi pemilik unggas yang nyelonong masuk ke pekarangan orang lain. Alasannya, pasal ini masih dibutuhkan mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang masih mengandalkan sektor agraria.

Dalam paparan Yasonna, ketentuan pemidanaan soal unggas diatur dalam Pasal 278. Bunyinya, 'Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II'. Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp10 juta.

"Ini sudah ada di KUHP yang sekarang, enggak diprotes sebelumnya. Mengapa ini masih diatur? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris, banyak yang jadi petani, masyarakat yang membuatkan sawah dan lain-lain, kadang ada orang yang usil," ungkapnya. 

Jadi, Yasonna menyebut tak ada upaya kriminalisasi. Apalagi di KUHP yang belum direvisi, dengan nominal denda yang mengikuti nilai rupiah saat ini. "Jadi, dia enggak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada di KUHP," imbuhnya.

 

Rekomendasi