Menurut salah seorang pengunjuk rasa dari Aliansi Rayat Menggugat, Yusuf Bachtiar mengatakan ada sejumlah tuntutan yang dilayangkan masyarakat kepada pemerintah. Beberapa di antaranya meminta pemerintah untuk segera membatalkan RUU dan membentuk tim independen dalam pengusutan kekerasan aparat saat unjuk rasa beberapa waktu lalu di Bandung dan sejumlah tempat lainnya.
"Harapannya ini jadi tekanan-tekanan ke pusat tentunya, karena DPRD sendiri juga lambang dari institusi negara. Makanya kita melakukan pendudukan untuk meberikan tekanan," kata Yusuf melalui pelantang suara di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (30/9/2019).
Yusuf mengaku, tidak memiliki niatan untuk melakukan upaya negosiasi atau menemui perwakilan anggota dewan. Sebab melalui orasi dan mimbar bebas seperti unjuk rasa, merupakan salah satu cara agar aspirasi masyarakat bisa didengar.
Yusuf menyebutkan, beberapa tuntunan yang ingin dipenuhi oleh pemerintah diantaranya adalah membatalkan RUU KUHP, RUU Agraria, RUU Minerba dan segera mensahkan RUU PK-S. Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Rayat Menggugat masih terus berlangsung di depan Gedung DPRD Jawa Barat.
Sebanyak 2.000 lebih petugas keamanan dari kepolisian dan tentara yang berjaga di dua lokasi. Lokasi pertama di Kantor Gubernur Jawa Barat dan kedua di Gedung DPRD Jawa Barat.
PMII Bandung Kecam Tindakan Represif Polisi
Di tempat berbeda, Kelompok mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung mengecam tindakan represif aparat kepolisian terhadap massa aksi demonstrasi dalam menyampaikan aspirasinya. Secara khusus kejadian penembakan mahasiswa dalam orasi di Kendari, Sulawesi Tenggara
Menurut Wakil Ketua PMII Kota Bandung Cecep Taufik, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap massa aksi dinilai berlebihan. Secara khusus perlakuan represif aparat telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan jauh dari cita-cita reformasi.
"Kalau kita lebih mendorong bagaimana kemudian Polda Jawa Barat khususnya, melakukan evaluasi terkait prosedur terkait pengamanan massa aksi hari ini. Karena terjadinya aksi anarki atau adanya korban, itu dikarenakan analisa Polda Jawa Barat terhadap lapangan yang kurang yang tidak mampu memperkirakan kejadian-kejadian apa yang akan terjadi" kata Cecep di depan Kantor Gubernur Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung.
Dijelaskan Cecep, secara aturan aksi represif aparat kepolisian saat membubarkan aksi unjuk rasa merupakan bentuk pelanggaran etika. Di mana dalam PERKAPPOLRI No. 7 tahun 2012 pasal 9, masyarakat diizinkan untuk melaksanakan pendapat di muka umum dan aparatur pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan secara profesional untuk melindungi hak asasi manusia dalam memberikan pengamanan.
"Demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya adalah sarana non-kekerasan. Hentikan kriminalisasi terhadap demonstran sebagai legitimasi melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Tindak tegas pelaku tindakan represif karena melanggar nilai-nilai HAM yang tertanam dalam kode etik pengamanan demonstrasi di Perkapolri Nomor 8 tahun 2009," Jelas Cecep.
Aksi unjuk rasa PMII Kota Bandung ini juga sebagai unjuk rasa solidaritas terhadap mahasiswa yang meninggal dunia saat menyuarakan penentangan terhadap RUU bermasalah di Sulawesi Tenggara. Mereka menuntut pencopotan Kepala Polisi Sulawesi Tenggara akibat kejadian tersebut. (Arie Nugraha)